Jumat, 24 September 2010

MOTIVASI, SIKAP TERHADAP MENGAJAR DAN KONSEP DIRI MAHASISWA FKIP UNIVERSITAS LAMPUNG TAHUN 2001

http://pakguruonline.pendidikan.net

MOTIVASI, SIKAP TERHADAP
MENGAJAR DAN KONSEP DIRI
MAHASISWA FKIP UNIVERSITAS LAMPUNG
TAHUN 2001

Oleh : Nandang Kosasih Ananda *)

Abstract. The purpose of this study was to investigate relationships among Maslow' needs hierarchy, educational attitudes and self-concept of students of College of Education, Lampung University. The sample consisted of 120 students in their fourth semester from all departments at College of Education, Lampung University. Three data-gathering instrument used in this study were: (1) the work motivation questionnaire to measure the students' motivation, (2) the teacher attitudes questionnaire to measure educational attitudes, and (3) the adjectives self-description questionnaire to measure self-concepts. The data were analyzed by multiple regression techniques. Results of the study revealed that attitudes toward teaching and self-concept, operating jointly, significantly contributed to the variance in Maslow' needs hierarchy scales of basic, safety, and self-actualization needs. The finding that self-concept and attitudes toward teaching were related to students motivation adds validity to theory of the relationships between attitudes, self-concept, and motivation. It confirms the belief that a student's behavior pattern can be conceived as a number of affective variables operating jointly. Moreover, it would seem reasonable for teacher education programs to gather data on both the students' attitudes toward teaching and self-concept so that insights might be gained into the students' motivations. This information might be added to the repertoire of screening devices. And so increase the probability of more effective candidate selection for teacher education.

Keyword: Maslow's needs hierarchy, attitudes toward teaching, self-concept.

Telah banyak penelitian yang berkaitan dengan karakteristik kepribadian dan performasi colon guru dilakukan. Namun bukti yang berkaitan dengan sifat hubungan ini masih belum jelas. Para ahli psikologi yang tertarik dengan penelitian karakteristik kepribadian, motivasi, dan prilaku manusia, percaya bahwa motivasi memberikan ragam dalam intensitas prilaku manusia, serta arah terhadap prilaku tersebut.

Kebutuhan penelitian yang berhubungan dengan motivasi dalam dunia pendidikan guru
telah diidentifikasi oleh Turner sejak tahun1975 yang menyatakan bahwa:

Studies ... probe more deeply into the motivational basis ... [of student teachers] are needed. An efficient professional training system is one which invest substantial fund in the training ... [of] ... the least ... motivated candidates. A more efficient system would devote more intense and systematic training of the most talented and well motivated aspirants (hal.108-109).

Pentingnya kebutuhan tersebut juga telah dibahas oleh Howson (1976) dalam laporan The Bicentennial Commission on Education for the Profession of Teaching, yang menyatakan bahwa "society now demands a new breed of teachers – a well prepared, high motivated professional".

Dengan demikian, bila program pendidikan guru seperti FKIP ini mencari mahasiswa yang memiliki minat untuk menjadi guru serta memiliki kompetensi mengajar, akan lebih ekonomis apabila memilih para calon guru yang menunjukkan motivasi tinggi terhadap mengajar yang mungkin akan berkaitan dengan keberhasilan calon guru tersebut. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti hubungan antara motivasi, sikap terhadap mengajar, dan konsep diri mahasiswa FKIP Universitas Lampung.

Motivasi

Teori motivasi Maslow (1954) menyatakan bahwa:
An attempt to formulate a positive theory of motivation which will satisfy theoretical demands [while] confirming to known facts (about human behavior), clinical and observational, as well as experimental .(hal. 86).

Teori yang digambarkan oleh Maslow tersebut memfokuskan pada 5 tingkatan kebutuhan (needs). Kebutuhan tersebut menggambarkan suatu kekuatan di belakang prilaku manusia; dan tingkat kebutuhan seseorang akan berbeda tergantung kepada individu masing-masing yang memerlukan kebutuhan itu. Kelima kebutuhan yang diungkapkan oleh Maslow tersebut adalah kebutuhan dasar (fisiologis), rasa aman (emosional), rasa memiliki (sosial), status-ego (personal), dan aktualisasi diri (personality). Menurut Maslow, suatu kebutuhan hanya dapat dipuaskan bila kebutuhan yang pada tingkatan yang lebih rendah telah terpenuhi, yang diatur dalam suatu hirarki yang disebut prepotensi. Misalnya, seseorang tak akan berhasil memenuhi kebutuhan aktualisasi diri (pengembangan diri) bila taraf pertama yang paling fundamental, yakni kebutuhan fisiologis (seperti makanan, minuman, dan sandang) tidak terpenuhi. Kebutuhan tersebut harus dapat dicapai agar kebutuhan-kebutuhan individu lainnya dapat dipuaskan, dan dimulai dari kebutuhan dasar (fisiologis).

Teori Maslow telah banyak digunakan secara luas dalam dunia industri untuk menunjukkan adanya hubungan antara pekerja dengan performansi kerja (Robert, 1972). Wamer (1978) juga telah melakukan penelitian tentang hubungan antara mahasiswa calon guru dalam hubungannya dengan praktek mengajar. Hasil penelitian Wamer menunjukkan bahwa ada hubungan yang logis antara hirarki kebutuhan Maslow, sikap kependidikan, dan konsep diri mahasiswa.

Sikap dan Motivasi

Para ahli psikologi menyatakan tentang adanya dua variabel sikap, yaitu: (a) sikap terhadap mengajar (Young, 1973), dan (b) konsep diri (Le Benne dan Gresene, 1965) yang secara erat dapat disatukan dengan motivasi; dengan asumsi bahwa variabel sikap bukan hanya memiliki kualitas motivasi yang dapat tumbuh dan mengatur prilaku, tetapi juga memberikan arah terhadap prilaku individu.

Sikap terhadap Mengajar

Aspek motivasi dari sikap dinyatakan oleh Young (1973):

As primary motives (attitudes) arouse behavior; they sustain or terminate an activity and progress, they regulate and organize behavior ... and they lead to the acquisition of motives, stable dispositions to act. (hal. 194).

Pernyataan tersebut menggambarkan bagaimana sikap dapat membangkitkan, mengatur dan mengorganisasikan prilaku individu terhadap sekumpulan objek. Walau pun hubungan antara sikap dan prilaku tidak secara mudah dapat diidentifikasi, namun fungsi sikap dapat masuk dan menentukan prilaku manusia. Menurut Peak (1955), sikap memiliki "the effect emphasizing objects ... with the result that their probability of activation and of choice and selection is increased". Dengan kata lain, sikap dapat mengatur apakah seseorang dapat menerima atau menolak terhadap rangsangan suatu objek, misalnya perasaan suka dan tidak suka, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kesimpulannya, sikap terhadap suatu objek dapat mempengaruhi pilihan seseorang terhadap objek tersebut, dan oleh karena itu dapat menentukan arah yang akan diambil oleh individu yang bersangkutan.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan mahasiswa FKIP adalah sikap mahasiswa terhadap mengajar. Kemampuan mahasiswa untuk meningkatkan siswa belajar dapat dipengaruhi oleh sikapnya terhadap belajar. Kasus konflik antara guru dengan mahasiswa tentang ketidak disiplinan mahasiswa, kasus ketergantungan mahasiswa terhadap sesuatu dalam belajar, misalnya, menunjukkan bahwa hubungan antara guru dengan mahasiswa merupakan suatu hubungan yang sangat penting dalam keberhasilan belajar mahasiswa.

Konsep Diri

Variabel kedua yang memiliki hubungan erat dengan motivasi adalah konsep diri. Menurut Traver (1973) bahwa konsep diri memiliki energi yang berpengaruh terhadap prilaku guru, menghasilkan kegiatan pembelajaran yang penuh semangat, dan adanya rasa percaya bahwa pembelajaran tersebut bermanfaat. Sejalan dengan Traver, Purkey (1975) menyatakan bahwa alasan konsep diri dikaitkan dengan motivasi adalah bahwa motif di belakang seluruh prilaku seorang guru dapat memelihara serta meningkatkan pemahaman dirinya sebagai manusia, dan sebagai seorang guru; yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap penampilannya di dalam kelas. Dari pemahaman akan dirinya diharapkan ia bisa membimbing serta mengatur prilakunya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang menilai dirinya efesien, cekatan, dan tangkas, akan berprilaku sangat berbeda dengan mahasiswa yang merasa malas, kurang bertanggung jawab, dan merasa bodoh. Oleh karena itu, perbedaan prilaku mahasiswa akan tergantung pada apakah melihat dirinya sebagai mahasiswa periang, sabar, dan penuh semangat atau mahasiswa yang emosional, egois, dan tak acuh. Dengan demikian, konsep diri mahasiswa akan sangat berperanan penting dalam mempengaruhi prilakunya di dalam kelas dan menentukan hasil belajar di kelas tersebut (Snygg & Cmbs, 1965).

METODE PENELITIAN

Sampel

Dengan menggunakan teknik penyampelan acak sederhana, seluruh populasi yang berjumlah 230 orang mahasiswa, dipilih 120 mahasiswa FKIP Unila semester tiga dan empat dari semua jurusan sebagai sampel. Dengan rincian: mahasiswa jurusan pendidikan MIPA sebanyak 40 orang, mahasiswa jurusan pendidikan IPS sebanyak 40 orang, dan mahasiswa jurusan pendidikan bahasa dan seni sebanyak 40 orang.

Alat Pengmpul Data

Tiga alat pengumpul data yang digunaan dalam penelitian ini, yaitu: (1) kuisioner yang
berkaitan dengan motivasi kerja, digunakan untuk mengukur lima skala motivasi: kebutuhan dasar, rasa aman, rasa memiliki, status-ego, dan aktualisasi diri mahasiswa, (2) kuisioner yang berkaitan dengan sikap terhadap mengajar, digunakan untuk mengukur sikap colon guru terhadap tanggung jawab siswa, kerjasama siswa, dan kemandirian siwa dalam belajar, dan (3) kuisioner yang berkaitan dengan konsep diri digunakan untuk mengukur: sikap social mahasiswa, prilaku sosial, kebiasaan, orientasi sosial, dan stabilitas emosional mahasiswa.

Seluruh instrumen telah diuji-cobakan kepada mahasiswa FKIP selain sampel penelitian, dengan hasil uji coba menurut Coefficient Alpha (a) dari Cronbach secara berurutan adalah sebagai berikut: 0,62; 0,70; dan 0,74.

Analisis Data

Regresi berganda (Muitipie Regression) digunakan dalam menganalisis data penelitian ini, dengan menggunakan tingkat signifikansi Q 0,05.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini menjawab hipotesis penelitian yang diajukan, yaitu: Motivasi, konsep diri dan sikap terhadap mengajar secara statistic sigfnifikan dikaitkan dengan motivasi kerja mahasiswa. Hipotesis tersebut diuji dengan menggunakan lima skala motivasi dalam kuisioner sebagai variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah sikap mahasiswa terhadap mengajar dan konsep diri mahasiswa. Variabel terikat sebagai predictor variabel bebas. Tabel 1 merupakan ringkasan hasil analisis data dengan menggunakan regresi berganda.


VARIABEL MOTIVASI SIKAP TERHADAP MENGAJAR DAN KONSEP DIRI
R Berganda R F
Dasar 0,4495 0,2020 2,04*
Rasa Aman 0,4696 0,2205 2,28*
Rasa Memiliki 0,3202 0,1025 1,00
Status Ego 0,2460 0,0605 0,56
Aktualisasi Diri 0,4505 0,2030 2,06*

Jumlah Sampel = 120, *p 0.005

Kebutuhan Dasar

Jumlah R menunjukkan (Tabel 1) bahwa 20% dari ragam dalam sejumlah kebutuhan dasar dijelaskan oleh variabel sikap terhadap mengajar dan konsep diri. R berganda menunjukkan arah hubungan positif pada 0,4495. Dengan seluruh variabel terikat masuk dalam ekuasi regresi koefesien R berganda memiliki nilai F. 2,04, dengan tingkat signifikansi 0,05. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa adanya dukungan terhadap hipotesis (Hipotesis diterima). Variansi dalam kebutuhan dasar secara signifikan dipengruhi oleh sikap terhadap mengajar dan konsep diri.

Rasa Aman

Hasil analisis regresi skor kebutuhan rasa aman dihubungkan dengan skor sikap terhadap mengajar dan konsep diri mahasiswa menunjukkan (Tabel 1) bahwa 23% dari variansi dalam kebutuhan rasa aman dijelaskan oleh sikap terhadap mengajar dan konsep diri. Positif R berganda 0,4696 menggambarkan nilai F 2,28 sampai pada tingkat signifikan mendukung atau menerima hipotesis. Dengan demikian, kebutuhan rasa aman secara signifikan dipengaruhi oleh sikap terhadap mengajar dan konsep diri
mahasiswa.

Rasa Memiliki

Hasil analisis regresi berganda terhadap kebutuhan rasa memiliki sebagai kriteria variable (Tabel 1) menunjukkan 10, 25% dari variansi dalam kebutuhan rasa memiliki dipengaruhi oleh sikap terhadap mengajar dan konsep diri. Positif R berganda 0.3202 menghasilkan nilai F 1,00 yang menunjukkan tidak signifikan pada tingkat p 0,05. Jadi rasa memiliki secara signifikan tidak dipengaruhi oleh sikap mahasiswa terhadap mengajar dan konsep diri mahasiswa. Dengan demikian, hipotesis penelitan ditolak.

Stastus Ego

Tabel 1 menunjukkan hanya 6,1% jumlah variansi dalam kebutuhan status ego dijelaskan oleh pelaksanaan bersama antar sikap mahasiswa terhadap mengajar dan konsep diri mahasiswa. Nilai F 0,56 untuk positif R berganda 0,2460 jatuh pada tingkat signifikan P 0,05. Jadi kebutuhan status ego tidak dipengaruhi secara signifikan oleh sikap mahsasiswa terhadap mengajar dan konsep diri mahasiswa. Oleh karena itu hipotesis penelitian ditolak.

Aktualisasi Diri

Hasil analisis regresi sikap mahasiswa terhadap mengajar dan konsep diri menunjukkan bahwa variabel ini menjelaskan 20,3% dari ragam aktualisasi diri (Tabel 1). Dengan positif R. berganda 0,4505, nilai F adalah 2,06 dan tingkat signifikan p. 0,05. Jadi, temuan hasil penelitian mendukung atau menerima hipotesis.

Dengan demikian, hasil analisis regresi berganda terhadap variabel bebas (5 kebutuhan Maslow) menunjukkan bahwa variabel terikat (sikap terhadap mengajar dan konsep diri) memberikan kontribusi secara signifikan (secara berturut-turut 20, 22 dan 20%) terhadap variansi dalam motivasi dengan tingkat signifikan pada p 0,05. Jadi hipotesis yang menyatakan bahwa motivasi berhubungan dengan sikap terhadap mengajar dan konsep diri telah didukung atau diterima.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kesimpulan hasil penelitian ini adalah bahwa konsep diri dan sikap terhadap mengajar berhubungan positif dengan skala motivasi mahasiswa yang meliputi kebutuhan dasar, rasa aman, dan kebutuhan aktualisasi diri. Hasil penelitian ini menambah validitas terhadap kerangka teori yang menyatakan bahwa konsep diri dan sikap terhadap mengajar berhubungan erat dengan motivasi. Temuan ini penting bagi dunia pendidikan dengan beberapa alasan. (1) temuan ini menkonfirmasikan kepercayaan bahwa bentuk prilaku mahasiswa FKIP dapat dipahami sebagai sejumlah variabel afektif. Oleh karena itu, ada alasan untuk menyarankan agar sejumlah variabel afektif lainnya perlu diteliti dan mendapat perhatian, (2) Bagi program pendidikan guru, hal ini beralasan untuk mengumpulkan data baik dari sikap terhadap pendidikan maupun konsep diri sehingga pemahaman secara mendalam tentang motivasi dapat diperoleh mahasiswa. Dua masalah luas tersebut mengacu kepada kesimpulan yang spesifik bahwa sikap terhadap mengajar dan konsep diri berkaitan dengan prilaku mahasiswa yang mungkin perlu memperhatikan kondisi sekolah yang lebih menyenangkan, meminimalkan ketidak nyamanan lingkungan sekolah, jam mengajar yang proporsional sehingga dimungkinkan adanya waktu untuk santai (kebutuhan dasar), (b) ketaatan pada peraturan sekolah, rencana belajar, dan pemenuhan terhadap otoritas (kebutuhan rasa
aman), dan (c) aturan di kelas yang memungkinkan bagi pertumbuhan personal, perolehan hasil belajar, dan kepuasan, (kebutuhan aktualisasi diri). Hal-hal tersebut dimaksudkan bahwa sikap dan konsep diri mahasiswa calon guru berkaitan erat dengan motivasi yang mengendalikan prilaku mahasiswa terhadap tantangan dan tugas mahasiswa yang bersifat pribadi.

DAFTAR PUSTAKA

Combs, A.W. 1965. Some basic concept in perceptual psychology. Minneapolis: The American Personal and Guidance Association.

Hall, J. & Williams, M. 1973. Work motivation inventory. Conroe: Telemetric.

Keerlinger, F.N. 1967. First and the second order structure of the attitudes toward education. American Educational Research Journal. 4,191-205.

La Benne, W.D. & Greene, B.I. 1 969. Educational implication of self-concept theory. Pacific Palisades: Good Year Publishing.

Maslow, A.H. 1954. Motivation and personality. New York: Harper & Row.

Maslow, A.H. A dynamic theory of motivation. New York: World Publishing.

Peak, H. 1955. Attitudes and motivation, in Jones M (Ed.), Nebraska symposium on motivation. Lincoln: Nebraska University.

Purkey, W.M. 1970. Self-concept and school achievement. Englewood Cliffs: Prentice
Hall.

Robert, T.B. 1972. Human motivation needs hierarchy: A bibliography. DeKalb: Northern Illinois University, ERIC Document Reproduction Service No. Edo69-591.

Snygg, D. & Combs. A.W. 1959. Individual behavior. New York: Harper & Row.

Travers, R.M. 1973. Essential of learning. New York: McMillan.

Turner, R.L. 1975. An overview of research in teacher education. Chicago: University of
Chicago Press.

Veidman, D. 1970. Adjective self-description. Austin: Research and Development Center for Teacher Education.

Warner, A.R. 1975. Maslow and field experiences in contemporary based teacher education. ERIC Document Reproduction Service No. 132152.

Young, P.G. 1955. The role of hedonistic process on motivation, in Jones M.R. (Ed.). Nebraska symposium on motivation. Lincoln: University of Nebraska.

Young, PG. 1973. Affective process in motivation, In Bindra D. & Stewart, J. (Ed.) Motivation. Hammondsport: Penguin.

-----------------------
*) Nandang Kosasih Ananda adalah dosen pada FKIP Universitas Lampung.

Sumber : Buletin Pelangi Pendidikan (Bulletin Peningkatan Mutu Pendidikan SLTP), Volume 6 No. 1 Tahun 2003.


Sumber :http://pakguruonline.pendidikan.net

PEDOMAN PEMILIHAN BAHAN AJAR

KATA PENGANTAR


Sejalan dengan dilaksanakannya Kurikulum Tahun 2004 yang mengacu pada standard kompetensi, maka diperlukan berbagai pedoman pendukung yang dapat menunjang pelaksanaan Kurikulum tersebut di lapangan.
Buku Pedoman ini ditujukan kepada para guru, kepala sekolah, pengawas dan pengelola pendidikan lainnya untuk melaksanakan aktifitas pembelajaran di sekolah sebagaimana tuntutan Kurikulum 2004. Pedoman tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan potensi daerah.
Buku pedoman ini merupakan salah satu referensi, untuk memberikan pemahaman yang sama dalam melaksanakan kurikulum 2004, yang pada dasarnya sekolah diberi keleluasaan dalam mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran sebagaimana diatur dalam undang-undang, semangat otonomi pendidikan, dan kebijakan School Based Management (Pengembangan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah).
Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah terlibat di dalam penyusunan pedoman ini, baik para akademisi dari berbagai perguruan tinggi maupun para guru mata pelajaran dari berbagai daerah dan sekolah.
Semoga buku pedoman ini dapat bermanfaat bagi guru dan pihak-pihak yang membutuhkannya.

Jakarta, Oktober 2006
Direktur
Sekolah Menengah Pertama,


Hamid Muhammad, Ph.D
NIP. 31291766
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
I. PENDAHULUAN 1
II. PEMILIHAN BAHAN AJAR DALAM PEMBELAJARAN
BERBASIS KOMPETENSI 2
III. PENGERTIAN BAHAN AJAR (MATERI PEMBELAJARAN) 4
IV. PRINSIP-PRINSIP PENYUSUNAN BAHAN AJAR 6
V. LANGKAH-LANGKAH PEMILIHAN BAHAN AJAR 7
A. Identifikasi standar kompetensi dan kompetensi dasar 8
B. Identifikasi jenis-jenis bahan ajar 8
C. Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi 9
D. Memilih sumber bahan 12

VI. PENENTUAN CAKUPAN DAN URUTAN BAHAN AJAR 12
A. Penentuan cakupan bahan ajar 13
B. Penentuan urutan bahan ajar 15

VII. PENENTUAN SUMBER BAHAN AJAR 16

VIII. Langkah-Langkah Pemanfaatan Bahan Ajar 19
A. Strategi Penyampaian Bahan Ajar oleh Guru 19
B. Strategi mempelajari bahan ajar oleh siswa 27

IX. MATERI PRASYARAT, REMEDIAL, DAN PENGAYAAN 30


I. PENDAHULUAN
Masalah penting yang sering dihadapi guru dalam kegiatan pembelajaran adalah memilih atau menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar yang tepat dalam rangka membantu siswa mencapai kompetensi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam kurikulum atau silabus, materi bahan ajar hanya dituliskan secara garis besar dalam bentuk “materi pokok”. Menjadi tugas guru untuk menjabarkan materi pokok tersebut sehingga menjadi bahan ajar yang lengkap. Selain itu, bagaimana cara memanfaatkan bahan ajar juga merupakan masalah. Pemanfaatan dimaksud adalah bagaimana cara mengajarkannya ditinjau dari pihak guru, dan cara mempelajarinya ditinjau dari pihak murid.
Berkenaan dengan pemilihan bahan ajar ini, secara umum masalah dimaksud meliputi cara penentuan jenis materi, kedalaman, ruang lingkup, urutan penyajian, perlakuan (treatment) terhadap materi pembelajaran, dsb. Masalah lain yang berkenaan dengan bahan ajar adalah memilih sumber di mana bahan ajar itu didapatkan. Ada kecenderungan sumber bahan ajar dititikberatkan pada buku. Padahal banyak sumber bahan ajar selain buku yang dapat digunakan. Bukupun tidak harus satu macam dan tidak harus sering berganti seperti terjadi selama ini. Berbagai buku dapat dipilih sebagai sumber bahan ajar.
Termasuk masalah yang sering dihadapi guru berkenaan dengan bahan ajar adalah guru memberikan bahan ajar atau materi pembelajaran terlalu luas atau terlalu sedikit, terlalu mendalam atau terlalu dangkal, urutan penyajian yang tidak tepat, dan jenis materi bahan ajar yang tidak sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai oleh siswa. Berkenaan dengan buku sumber sering terjadi setiap ganti semester atau ganti tahun ganti buku.
Sehubungan dengan itu, perlu disusun rambu-rambu pemilihan dan pemanfaatan bahan ajar untuk membantu guru agar mampu memilih materi pembelajaran atau bahan ajar dan memanfaatkannya dengan tepat. Rambu-rambu dimaksud antara lain berisikan konsep dan prinsip pemilihan materi pembelajaran, penentuan cakupan, urutan, kriteria dan langkah-langkah pemilihan, perlakuan/pemanfaatan, serta sumber materi pembelajaran.


II. PEMILIHAN BAHAN AJAR DALAM PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPETENSI (PBK)

Pembelajaran berbasis kompetensi didasarkan atas pokok-pokok pikiran bahwa apa yang ingin dicapai oleh siswa melalui kegiatan pembelajaran harus dirumuskan dengan jelas. Perumusan dimaksud diwujudkan dalam bentuk standar kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh siswa. Standar kompetensi meliputi standar materi atau standar isi (content standard) dan standar pencapaian (performance standard). Standar materi berisikan jenis, kedalaman, dan ruang lingkup materi pembelajaran yang harus dikuasi siswa, sedangkan standar penampilan berisikan tingkat penguasaan yang harus ditampilkan siswa. Tingkat penguasaan itu misalnya harus 100% dikuasai atau boleh kurang dari 100%. Sesuai dengan pokok-pokok pikiran tersebut, masalah materi pembelajaran memegang peranan penting dalam rangka membantu siswa mencapai standar kompetensi.
Kapankah materi pembelajaran atau bahan ajar ditentukan atau dipilih? Dalam rangka pelaksanaan pembelajaran, termasuk pembelajaran berbasis kompetensi, bahan ajar dipilih setelah identitas mata pelajaran, standar kompetensi, dan kompetensi dasar ditentukan. Seperti diketahui, langkah-langkah pengembangan pembelajaran sesuai KBK antara lain pertama-tama menentukan identitas matapelajaran. Setelah itu menentukan standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, strategi pembelajaran/pengalaman belajar, indikator pencapaian, dst. Setelah pokok-pokok materi pembelajaran ditentukan, materi tersebut kemudian diuraikan. Uraian materi pembelajaran dapat berisikan butir-butir materi penting (key concepts) yang harus dipelajari siswa atau dalam bentuk uraian secara lengkap seperti yang terdapat dalam buku-buku pelajaran.
Seperti diuraikan di muka, materi pembelajaran (bahan ajar) merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran yang memegang peranan penting dalam membantu siswa mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Secara garis besar, bahan ajar atau materi pembelajaran berisikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau nilai yang harus dipelajari siswa.
Materi pembelajaran perlu dipilih dengan tepat agar seoptimal mungkin membantu siswa dalam mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Masalah-masalah yang timbul berkenaan dengan pemilihan materi pembelajaran menyangkut jenis, cakupan, urutan, perlakuan (treatment) terhadap materi pembelajaran dan sumber bahan ajar. Jenis materi pembelajaran perlu diidentifikasi atau ditentukan dengan tepat karena setiap jenis materi pembelajaran memerlukan strategi, media, dan cara mengevaluasi yang berbeda-beda. Cakupan atau ruang lingkup serta kedalaman materi pembelajaran perlu diperhatikan agar tidak kurang dan tidak lebih. Urutan (sequence) perlu diperhatikan agar pembelajaran menjadi runtut. Perlakuan (cara mengajarkan/menyampaikan dan mempelajari) perlu dipilih setepat-tepatnya agar tidak salah mengajarkan atau mempelajarinya (misalnya perlu kejelasan apakah suatu materi harus dihafalkan, dipahami, atau diaplikasikan).
III. PENGERTIAN BAHAN AJAR (MATERI PEMBELAJARAN)
Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai.
Termasuk jenis materi fakta adalah nama-nama obyek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, dsb. (Ibu kota Negara RI adalah Jakart; Negara RI merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945). Termasuk materi konsep adalah pengertian, definisi, ciri khusus, komponen atau bagian suatu obyek (Contoh kursi adalah tempat duduk berkaki empat, ada sandaran dan lengan-lengannya).
Termasuk materi prinsip adalah dalil, rumus, adagium, postulat, teorema, atau hubungan antar konsep yang menggambarkan “jika..maka….”, misalnya “Jika logam dipanasi maka akan memuai”, rumus menghitung luas bujur sangkar adalah sisi kali sisi.
Materi jenis prosedur adalah materi yang berkenaan dengan langkah-langkah secara sistematis atau berurutan dalam mengerjakan suatu tugas. Misalnya langkah-langkah mengoperasikan peralatan mikroskup, cara menyetel televisi. Materi jenis sikap (afektif) adalah materi yang berkenaan dengan sikap atau nilai, misalnya nilai kejujuran, kasih sayang, tolong-menolong, semangat dan minat belajar, semangat bekerja, dsb.
Untuk membantu memudahkan memahami keempat jenis materi pembelajaran aspek kognitif tersebut, perhatikan tabel di bawah ini.
Tabel 1: Klasifikasi Materi Pembelajaran Menjadi Fakta, Konsep, Prosedur, dan Prinsip

No. Jenis Materi Pengertian dan contoh
1. Fakta Menyebutkan kapan, berapa, nama, dan di mana.
Contoh:
Negara RI merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945; Seminggu ada 7 hari; Ibu kota Negara RI Jakarta; Ujung Pandang terletak di Sulawesi Selatan.
2. Konsep Definisi, identifikasi, klasifikasi, ciri-ciri khusus.
Contoh:
Hukum ialah peraturan yang harus dipatuh-taati, dan jika dilanggar dikenai sanksi berupa denda atau pidana.
3. Prinsip Penerapan dalil, hukum, atau rumus. (Jika…maka….).
Contoh:
Hukum permintaan dan penawaran (Jika penawaran tetap permintaan naik, maka harga akan naik).
4. Prosedur Bagan arus atau bagan alur (flowchart), algoritma, langkah-langkah mengerjakan sesuatu secara urut.
Contoh:
Langkah-langkah menjumlahkan pecahan ialah:
1. Menyamakan penyebut
2. Menjumlahkan pembilang dengan dengan pembilang dari penyebut yang telah disamakan.
3. Menuliskan dalam bentuk pecahan hasil penjumlahan pembilang dan penyebut yang telah disamakan.

Ditinjau dari pihak guru, materi pembelajaran itu harus diajarkan atau disampaikan dalam kegiatan pembelajran. Ditinjau dari pihak siswa bahan ajar itu harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang akan dinilai dengan menggunakan instrumen penilaian yang disusun berdasar indikator pencapaian belajar.

IV. PRINSIP-PRINSIP PEMILIHAN BAHAN AJAR
Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyusunan bahan ajar atau materi pembelajaran. Prinsip-prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran meliputi prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan.
Prinsip relevansi artinya keterkaitan. Materi pembelajaran hendaknya relevan atau ada kaitan atau ada hubungannya dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebagai misal, jika kompetensi yang diharapkan dikuasai siswa berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang diajarkan harus berupa fakta atau ghbahan hafalan.
Prinsip konsistensi artinya keajegan. Jika kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa empat macam, maka bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi empat macam. Misalnya kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa adalah pengoperasian bilangan yang meliputi penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, maka materi yang diajarkan juga harus meliputi teknik penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
Prinsip kecukupan artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak akan membuang-buang waktu dan tenaga yang tidak perlu untuk mempelajarinya.

V. LANGKAH-LANGKAH PEMILIHAN BAHAN AJAR
Sebelum melaksanakan pemilihan bahan ajar, terlebih dahulu perlu diketahui kriteria pemilihan bahan ajar. Kriteria pokok pemilihan bahan ajar atau materi pembelajaran adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar. Hal ini berarti bahwa materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh guru di satu pihak dan harus dipelajari siswa di lain pihak hendaknya berisikan materi atau bahan ajar yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Dengan kata lain, pemilihan bahan ajar haruslah mengacu atau merujuk pada standar kompetensi.
Setelah diketahui kriteria pemilihan bahan ajar, sampailah kita pada langkah-langkah pemilihan bahan ajar. Secara garis besar langkah-langkah pemilihan bahan ajar meliputi pertama-tama mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang menjadi acuan atau rujukan pemilihan bahan ajar. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi jenis-jenis materi bahan ajar. Langkah ketiga memilih bahan ajar yang sesuai atau relevan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah teridentifikasi tadi. Terakhir adalah memilih sumber bahan ajar.
Secara lengkap, langkah-langkah pemilihan bahan ajar dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar
1. Sebelum menentukan materi pembelajaran terlebih dahulu perlu diidentifikasi aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dipelajari atau dikuasai siswa. Aspek tersebut perlu ditentukan, karena setiap aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam kegiatan pembelajaran.
Setiap aspek standar kompetensi tersebut memerlukan materi pembelajaran atau bahan ajar yang berbeda-beda untuk membantu pencapaiannya.

B. Identifikasi jenis-jenis materi pembelajaran
Sejalan dengan berbagai jenis aspek standar kompetensi, materi pembelajaran juga dapat dibedakan menjadi jenis materi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Materi pembelajaran aspek kognitif secara terperinci dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: fakta, konsep, prinsip dan prosedur (Reigeluth, 1987).
1. Materi jenis fakta adalah materi berupa nama-nama objek, nama tempat, nama orang, lambang, peristiwa sejarah, nama bagian atau komponen suatu benda, dan lain sebagainya.
2. Materi konsep berupa pengertian, definisi, hakekat, inti isi.
3. Materi jenis prinsip berupa dalil, rumus, postulat adagium, paradigma, teorema.
4. Materi jenis prosedur berupa langkah-langkah mengerjakan sesuatu secara urut, misalnya langkah-langkah menelpon, cara-cara pembuatan telur asin atau cara-cara pembuatan bel listrik.
5. Materi pembelajaran aspek afektif meliputi: pemberian respon, penerimaan (apresisasi), internalisasi, dan penilaian.
6. Materi pembelajaran aspek motorik terdiri dari gerakan awal, semi rutin, dan rutin.

C. Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar
Pilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditentukan. Perhatikan pula jumlah atau ruang lingkup yang cukup memadai sehingga mempermudah siswa dalam mencapai standar kompetensi.
Berpijak dari aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah memilih jenis materi yang sesuai dengan aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut. Materi yang akan diajarkan perlu diidentifikasi apakah termasuk jenis fakta, konsep, prinsip, prosedur, afektif, atau gabungan lebih daripada satu jenis materi. Dengan mengidentifikasi jenis-jenis materi yang akan diajarkan, maka guru akan mendapatkan kemudahan dalam cara mengajarkannya. Setelah jenis materi pembelajaran teridentifikasi, langkah berikutnya adalah memilih jenis materi tersebut yang sesuai dengan standar kompetensi atau kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Identifikasi jenis materi pembelajaran juga penting untuk keperluan mengajarkannya. Sebab, setiap jenis materi pembelajaran memerlukan strategi pembelajaran atau metode, media, dan sistem evaluasi/penilaian yang berbeda-beda. Misalnya metode mengajarkan materi fakta atau hafalan adalah dengan menggunakan “jembatan keledai”, “jembatan ingatan” (mnemonics), sedangkan metode untuk mengajarkan prosedur adalah “demonstrasi”.
Cara yang paling mudah untuk menentukan jenis materi pembelajaran yang akan diajarkan adalah dengan jalan mengajukan pertanyaan tentang kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa.
Dengan mengacu pada kompetensi dasar, kita akan mengetahui apakah materi yang harus kita ajarkan berupa fakta, konsep, prinsip, prosedur, aspek sikap, atau psikomotorik. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk mengidentifikasi jenis materi pembelajaran:
1. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa mengingat nama suatu objek, simbul atau suatu peristiwa? Kalau jawabannya “ya” maka materi pembelajaran yang harus diajarkan adalah “fakta”.
Contoh:
Nama-nama ibu kota kabupaten, peristiwa sejarah, nama-nama organ tubuh manusia.
2. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa kemampuan untuk menyatakan suatu definisi, menuliskan ciri khas sesuatu, mengklasifikasikan atau mengelompokkan beberapa contoh objek sesuai dengan suatu definisi ? Kalau jawabannya “ya” berarti materi yang harus diajarkan adalah “konsep”.
Contoh :
Seorang guru menunjukkan beberapa tumbuh-tumbuhan kemudian siswa diminta untuk mengklasifikasikan atau mengelompokkan mana yang termasuk tumbuhan berakar serabut dan mana yang berakar tunggang.
3. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa menjelaskan atau melakukan langkah-langkah atau prosedur secara urut atau membuat sesuatu ? Bila “ya” maka materi yang harus diajarkan adalah “prosedur”.
Contoh :
Langkah-langkah mengatasi permasalahan dalam mewujudkan masyarakat demokrasi; langkah-langkah cara membuat magnit buatan; cara-cara membuat sabun mandi, cara membaca sanjak, cara mengoperasikan komputer, dsb.
4. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa menentukan hubungan antara beberapa konsep, atau menerapkan hubungan antara berbagai macam konsep ? Bila jawabannya “ya”, berarti materi pembelajaran yang harus diajarkan termasuk dalam kategori “prinsip”.
Contoh :
Hubungan hubungan antara penawaran dan permintaan suatu barang dalam lalu lintas ekonomi. Jika permintaan naik sedangkan penawaran tetap, maka harga akan naik. Cara menghitung luas persegi panjang. Rumus luas persegi panjang adalah panjang dikalikan lebar.
5. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa memilih berbuat atau tidak berbuat berdasar pertimbangan baik buruk, suka tidak suka, indah tidak indah? Jika jawabannya “Ya”, maka materi pembelajaran yang harus diajarkan berupa aspek afektif, sikap, atau nilai.
Contoh:
Ali memilih mentaati rambu-rambu lalulintas meskpipun terlambat masuk sekolah setelah di sekolah diajarkan pentingnya mentaati peraturan lalulintas.
6. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa melakukan perbuatan secara fisik? Jika jawabannya “Ya”, maka materi pembelajaran yang harus diajarkan adalah aspek motorik.
Contoh:
Dalam pelajaran lompat tinggi, siswa diharapkan mampu melompati mistar 125 centimeter. Materi pembelajaran yang harus diajarkan adalah teknik lompat tinggi.

D. Memilih sumber bahan ajar
Setelah jenias materi ditentukan langkah berikutnya adalah menentukan sumber bahan ajar. Materi pembelajaran atau bahan ajar dapat kita temukan dari berbagai sumber seperti buku pelajaran, majalah, jurnal, koran, internet, media audiovisual, dsb.


VI. PENENTUAN CAKUPAN DAN URUTAN BAHAN AJAR
Masalah cakupan atau ruang lingkup, kedalaman, dan urutan penyampaian materi pembelajaran penting diperhatikan. Ketepatan dalam menentukan cakupan, ruang lingkup, dan kedalaman materi pembelajaran akan menghindarkan guru dari mengajarkan terlalu sedikit atau terlalu banyak, terlalu dangkal atau terlalu mendalam. Ketepatan urutan penyajian (sequencing) akan memudahkan bagi siswa mempelajari materi pembelajaran.

A. Penentuan cakupan bahan ajar
Dalam menentukan cakupan atau ruang lingkup materi pembelajaran harus diperhatikan apakah materinya berupa aspek kognitif (fakta, konsep, prinsip, prosedur) aspek afektif, ataukah aspek psikomotorik, sebab nantinya jika sudah dibawa ke kelas maka masing-masing jenis materi tersebut memerlukan strategi dan media pembelajaran yang berbeda-beda.
Selain memperhatikan jenis materi pembelajaran juga harus memperhatikan prinsip-prinsip yang perlu digunakan dalam menentukan cakupan materi pembelajaran yang menyangkut keluasan dan kedalaman materinya. Keluasan cakupan materi berarti menggambarkan berapa banyak materi-materi yang dimasukkan ke dalam suatu materi pembelajaran, sedangkan kedalaman materi menyangkut seberapa detail konsep-konsep yang terkandung di dalamnya harus dipelajari/dikuasai oleh siswa. Sebagai contoh, proses fotosintesis dapat diajarkan di SD, SLTP dan SMU, juga di perguruan tinggi, namun keluasan dan kedalaman pada setiap jenjang pendidikan tersebut akan berbeda-beda. Semakin tinggi jenjang pendidikan akan semakin luas cakupan aspek proses fotosintesis yang dipelajari dan semakin detail pula setiap aspek yang dipelajari. Di SD dan SLTP aspek kimia disinggung sedikit tanpa menunjukkan reaksi kimianya. Di SMU reaksi-reaksi kimia mulai dipelajari, dan di perguruan tinggi reaksi kimia dari proses fotosintesis semakin diperdalam.
Prinsip berikutnya adalah prinsip kecukupan (adequacy). Kecukupan (adequacy) atau memadainya cakupan materi juga perlu diperhatikan dalam pengertian. Cukup tidaknya aspek materi dari suatu materi pembelajaran akan sangat membantu tercapainya penguasaan kompetensi dasar yang telah ditentukan. Misalnya, jika suatu pelajaran dimaksudkan untuk memberikan kemampuan kepada siswa di bidang jual beli, maka uraian materinya mencakup: (1) penguasaan atas konsep pembelian, penjualan, laba, dan rugi; (2) rumus menghitung laba dan rugi jika diketahui pembelian dan penjualan; dan (3) penerapan/aplikasi rumus menghitung laba dan rugi.
Cakupan atau ruang lingkup materi perlu ditentukan untuk mengetahui apakah materi yang harus dipelajari oleh murid terlalu banyak, terlalu sedikit, atau telah memadai sehingga sesuai dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai. Misalnya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia: Salah satu kompetensi dasar yang diharapkan dimiliki siswa "Membuat Surat Dinas ". Setelah diidentifikasi, ternyata materi pembelajaran untuk mencapai kemampuan Membuat Surat Dinas tersebut termasuk jenis prosedur. Jika kita analisis, secara garis besar cakupan materi yang harus dipelajari siswa agar mampu membuat surat dinas meliputi: (1) Pembuatan draft atau konsep surat, (2) Pengetikan surat, (3) Pemberian nomor agenda dan (4) Pengiriman. Setiap jenis dari keempat materi tersebut masih dapat diperinci lebih lanjut.
B. Penentuan urutan bahan ajar
Urutan penyajian (sequencing) bahan ajar sangat penting untuk menentukan urutan mempelajari atau mengajarkannya. Tanpa urutan yang tepat, jika di antara beberapa materi pembelajaran mempunyai hubungan yang bersifat prasyarat (prerequisite) akan menyulitkan siswa dalam mempelajarinya. Misalnya materi operasi bilangan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Siswa akan mengalami kesulitan mempelajari perkalian jika materi penjumlahan belum dipelajari. Siswa akan mengalami kesulitan membagi jika materi pengurangan belum dipelajari.
Materi pembelajaran yang sudah ditentukan ruang lingkup serta kedalamannya dapat diurutkan melalui dua pendekatan pokok , yaitu: pendekatan prosedural, dan hierarkis.

1. Pendekatan prosedural.
Urutan materi pembelajaran secara prosedural menggambarkan langkah-langkah secara urut sesuai dengan langkah-langkah melaksanakan suatu tugas. Misalnya langkah-langkah menelpon, langkah-langkah mengoperasikan peralatan kamera video.

2. Pendekatan hierarkis
Urutan materi pembelajaran secara hierarkis menggambarkan urutan yang bersifat berjenjang dari bawah ke atas atau dari atas ke bawah. Materi sebelumnya harus dipelajari dahulu sebagai prasyarat untuk mempelajari materi berikutnya.
Contoh : Urutan Hierarkis (berjenjang)
Soal ceritera tentang perhitungan laba rugi dalam jual beli Agar siswa mampu menghitung laba atau rugi dalam jual beli (penerapan rumus/dalil), siswa terlebih dahulu harus mempelajari konsep/ pengertian laba, rugi, penjualan, pembelian, modal dasar (penguasaan konsep). Setelah itu siswa perlu mempelajari rumus/dalil menghitung laba, dan rugi (penguasaan dalil). Selanjutnya siswa menerapkan dalil atau prinsip jual beli (penguasaan penerapan dalil).
Contoh lain tentang urutan operasi bilangan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2: Contoh Urutan Materi pembelajaran Secara Hierarkis
Kompetensi dasar Urutan Materi
1. Mengoperasikan bilangan 1.1. Penjumlahan
1.2. Pengurangan
1.3. Perkalian
1.4. Pembagian


VII. SUMBER BAHAN AJAR
Sumber bahan ajar merupakan tempat di mana bahan ajar dapat diperoleh. Dalam mencari sumber bahan ajar, siswa dapat dilibatkan untuk mencarinya. Misalnya, siswa ditugasi untuk mencari koran, majalah, hasil penelitian, dsb. Hal ini sesuai dengan prinsip pembelajaran siswa aktif (CBSA). Berbagai sumber dapat kita gunakan untuk mendapatkan materi pembelajaran dari setiap standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sumber-sumber dimaksud dapat disebutkan di bawah ini:
1. Buku teks
Buku teks yang diterbitkan oleh berbagai penerbit dapat dipilih untuk digunakan sebagai sumber bahan ajar. Buku teks yang digunakan sebagai sumber bahan ajar untuk suatu jenis matapelajaran tidak harus hanya satu jenis, apa lagi hanya berasal dari satu pengarang atau penerbit. Gunakan sebanyak mungkin buku teks agar dapat diperoleh wawasan yang luas.
2. Laporan hasil penelitian
Laporan hasil penelitian yang diterbitkan oleh lembaga penelitian atau oleh para peneliti sangat berguna untuk mendapatkan sumber bahan ajar yang atual atau mutakhir.
3. Jurnal (penerbitan hasil penelitian dan pemikiran ilmiah)
Penerbitan berkala yang berisikan hasil penelitian atau hasil pemikiran sangat bermanfaat untuk digunakan sebagai sumber bahan ajar. Jurnal-jurnal tersebut berisikan berbagai hasil penelitian dan pendapat dari para ahli di bidangnya masing-masing yang telah dikaji kebenarannya.
4. Pakar bidang studi
Pakar atau ahli bidang studi penting digunakan sebagai sumber bahan ajar. Pakar tadi dapat dimintai konsultasi mengenai kebenaran materi atau bahan ajar, ruang lingkup, kedalaman, urutan, dsb.
5. Profesional
Kalangan professional adalah orang-orang yang bekerja pada bidang tertentu. Kalangan perbankan misalnya tentu ahli di bidang ekonomi dan keuangan. Sehubungan dengan itu bahan ajar yang berkenaan dengan eknomi dan keuangan dapat ditanyakan pada orang-orang yang bekerja di perbankan.
6. Buku kurikulum
Buku kurikulm penting untuk digunakan sebagai sumber bahan ajar. Karena berdasar kurikulum itulah standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi bahan dapat ditemukan. Hanya saja materi yang tercantum dalam kurikulum hanya berisikan pokok-pokok materi. Gurulah yang harus menjabarkan materi pokok menjadi bahan ajar yang terperinci.
7. Penerbitan berkala seperti harian, mingguan, dan bulanan.
Penerbitan berkala seperti Koran banyak berisikan informasi yang berkenaan dengan bahan ajar suatu matapelajaran. Penyajian dalam koran-koran atau mingguan menggunakan bahasa popular yang mudah dipahami. Karena itu baik sekali apa bila penerbitan tersebut digunakan sebagai sumber bahan ajar.
8. Internet
Bahan ajar dapat pula diperoleh melalui jaringan internet. Di internet kita dapat memperoleh segala macam sumber bahan ajar. Bahkan satuan pelajaran harian untuk berbagai matapelajaran dapat kita peroleh melalui internet. Bahan tersebut dapat dicetak atau dikopi.
9. Media audiovisual (TV, Video, VCD, kaset audio)
Berbagai jenis media audiovisual berisikan pula bahan ajar untuk berbagai jenis mata pelajaran. Kita dapat mempelajari gunung berapi, kehidupan di laut, di hutan belantara melalui siaran televisi.
10. Lingkungan ( alam, sosial, senibudaya, teknik, industri, ekonomi)
Berbagai lingkungan seperti lingkungan alam, lingkungan social, lengkungan seni budaya, teknik, industri, dan lingkungan ekonomi dapat digunakan sebgai sumber bahan ajar. Untuk mempelajari abrasi atau penggerusan pantai, jenis pasir, gelombang pasang misalnya kita dapat menggunakan lingkungan alam berupa pantai sebagau sumber.
Perlu diingat, dalam menyusun rencana pembelajaran berbasis kompetensi, buku-buku atau terbitan tersebut hanya merupakan bahan rujukan. Artinya, tidaklah tepat jika hanya menggantungkan pada buku teks sebagai satu-satunya sumber abahan ajar. Tidak tepat pula tindakan mengganti buku pelajaran pada setiap pergantian semester atau pergantian tahun. Buku-buku pelajaran atau buku teks yang ada perlu dipelajari untuk dipilih dan digunakan sebagai sumber yang relevan dengan materi yang telah dipilih untuk diajarkan.
Mengajar bukanlah menyelesaikan satu buku, tetapi membantu siswa mencapai kompetensi. Karena itu, hendaknya guru menggunakan banyak sumber materi. Bagi guru, sumber utama untuk mendapatkan materi pembelajaran adalah buku teks dan buku penunjang yang lain.


VIII. LANGKAH-LANGKAH PEMANFAATAN BAHAN AJAR
A. Strategi penyampaian bahan ajar oleh Guru

1. Strategi urutan penyampaian simultan
Jika guru harus menyampaikan materi pembelajaran lebih daripada satu, maka menurut strategi urutan penyampaian simultan, materi secara keseluruhan disajikan secara serentak, baru kemudian diperdalam satu demi satu (Metode global). Misalnya guru akan mengajarkan materi Sila-sila Pancasila yang terdiri dari lima sila. Pertama-tama Guru menyajikan lima sila sekaligus secara garis besar, kemudian setiap sila disajikan secara mendalam.


2. Strategi urutan penyampaian suksesif
Jika guru harus manyampaikan materi pembelajaran lebih daripada satu, maka menurut strategi urutan panyampaian suksesif, sebuah materi satu demi satu disajikan secara mendalam baru kemudian secara berurutan menyajikan materi berikutnya secara mendalam pula. Contoh yang sama, misalnya guru akan mengajarkan materi Sila-sila Pancasila. Pertama-tama guru menyajikan sila pertama yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Setelah sila pertama disajikan secara mendalam, baru kemudian menyajikan sila berikutnya yaitu sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Strategi penyampaian fakta
Jika guru harus manyajikan materi pembelajaran termasuk jenis fakta (nama-nama benda, nama tempat, peristiwa sejarah, nama orang, nama lambang atau simbol, dsb.) strategi yang tepat untuk mengajarkan materi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sajikan materi fakta dengan lisan, tulisan, atau gambar.
b. Berikan bantuan kepada siswa untuk menghafal. Bantuan diberikan dalam bentuk penyampaian secara bermakna, menggunakan jembatan ingatan, jembatan keledai, atau mnemonics, asosiasi berpasangan, dsb. Bantuan penyampaian materi fakta secara bermakna, misalnya menggunakan cara berpikir tertentu untuk membantu menghafal. Sebagai contoh, untuk menghafal jenis-jenis sumber belajar digunakan cara berpikir: Apa, oleh siapa, dengan menggunakan bahan, alat, teknik, dan lingkungan seperti apa? Berdasar kerangka berpikir tersebut, jenis-jenis sumber belajar diklasifikasikan manjadi: Pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan. Bantuan mengingat-ingat jenis-jenis sumber belajar tersebut menggunakan jembatan keledai, jembatan ingatan (mnemonics) menjadi POBATEL (Pesan, orang bahan, alat, teknik, lingkungan).
Bantuan menghafal berupa asosiasi berpasangan (pair association) misalnya untuk mengingat-ingat di mana letak stalakmit dan stalaktit pada pelajaran sains. Apakah stalaktit di atas atau di bawah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pasangkan huruf T pada atas, dengan T pada tit-nya stalaktit. Jadi stalaktit terletak di atas, sedangkan stalakmit terletak di bawah.

Contoh lain penggunaan jembatan keledai atau jembatan ingatan: (1) PAO-HOA (Panas April-Oktober, Hujan Oktober – April). (2) Untuk menghafal nama-nama bulan yang berumur 30 hari digunakan AJUSENO (April, Juni, September, Nopember).

4. Strategi penyampaian konsep
Materi pembelajaran jenis konsep adalah materi berupa definisi atau pengertian. Tujuan mempelajari konsep adalah agar siswa paham, dapat menunjukkan ciri-ciri, unsur, membedakan, membandingkan, menggeneralisasi, dsb.
Langkah-langkah mengajarkan konsep: Pertama sajikan konsep, kedua berikan bantuan (berupa inti isi, ciri-ciri pokok, contoh dan bukan contoh), ketiga berikan latihan (exercise) misalnya berupa tugas untuk mencari contoh lain, keempat berikan umpan balik, dan kelima berikan tes.

Contoh:
Penyajian konsep tindak pidana pencurian
Langkah 1: Penyajian konsep
Sesuai pasal 362 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja mengambil barang milik orang lain dengan melawan hukum dengan maksud untuk dimiliki dihukum dengan hukuman penjara sekurang-kurangnya … tahun.”
Langkah 2: Pemberian bantuan
a. Murid dibantu untuk menghafal konsep dengan kalimat sendiri, tidak harus hafal verbal terhadap konsep yang dipelajari (dalam hal ini Pasal pencurian).
b. Tunjukkan unsur-unsur pokok konsep tindak pidana pencurian, yaitu:
1) Mengambil barang (bernilai ekonomi)
2) Barang itu milik orang lain
3) Dengan melawan hukum (tanpa seijin yang empunya)
4) Dengan maksud dimiliki (mengambil uang untuk jajan).

Contoh positip: Wawan malam hari masuk pekarangan Ali dengan merusak pintu pagar (sengaja) mengambil (melawan hukum) material bangunan berupa besi beton (barang milik orang lain), kemudian dijual, uangnya untuk membeli beras (dengan maksud dimiliki). Contoh negatif/salah (bukan contoh tapi mirip): Badu meminjam sepeda Gani tidak dikembalikan melainkan dijual uangnya untuk membeli makan. Dari contoh negatif atau contoh yang salah ini, unsur-unsur “sengaja mengambil barang milik orang lain dengan maksud dimiliki” terpenuhi, tetapi ada satu unsur yang tidak terpenuhi, yaitu “melawan hukum”, karena “meminjam”. Jadi pengambilan barang seijin yang empunya. Karena itu perbuatan tersebut bukan termasuk tindak pidana pencurian, melainkan penggelapan.

Langkah 3: Latihan
Pertama-tama murid diminta menghafal dengan kalimat sendiri (hafal parafrase) Kemudian murid diminta memberikan contoh kasus pencurian lain selain yang dicontohkan oleh guru untuk mengetahui pemahaman murid terhadap materi tindak pidana pencurian.

Langkah 4: Umpan balik
Berikan umpan balik atau informasi apakah murid benar atau salah dalam memberikan contoh. Jika benar berikan konfirmasi, jika salah berikan koreksi atau pembetulan.

Langkah 5: Tes
Berikan tes untuk menilai apakah siswa benar-benar telah paham terhadap materi tindak pidana pencurian. Soal tes hendaknya berbeda dengan contoh kasus yang telah diberikan pada saat penyempaian konsep dan soal latihan untuk menghindari murid hanya hafal tetapi tidak paham.

5. Strategi penyampaian materi pembelajaran prinsip
Termasuk materi pembelajaran jenis prinsip adalah dalil, rumus, hukum (law), postulat, teorema, dsb.
Langkah-langkah mengajarkan atau menyampaikan materi pembelajaran jenis prinsip adalah :
a) Sajikan prinsip
b) Berikan bantuan berupa contoh penerapan prinsip
c) Berikan soal-soal latihan
d) Berikan umpan balik
e) Berikan tes.

Contoh:
Cara mengajarkan rumus menghitung luas bujur sangkar dengan tujuan agar siswa mampu menerapkan rumus tersebut.

Langkah 1: Sajikan rumus
Rumus menghitung luas bujur sangkar adalah: Sisi X Sisi atau sisi kuadrat.

Langkah 2: Memberikan bantuan
Berikan bantuan cara menghafal rumus dilengkapi contoh penerapan rumus menghitung luas bujur sangkar. Misalnya sebuah karton bangun bujur sangkar dengan panjang sisi 30 cm.
Rumus: Luas bujur sangkar = S X S.
Luas karton adalah 30 X 30 X 1 cm2 = 900 cm2.

Langkah 3: Memberikan latihan
Berikan soal-soal latihan penerapan rumus dengan bilangan-bilangan yang berbeda dengan contoh yang telah diberikan. Misalnya selembar kertas panjangnya berbentuk bujur sangkar dengan panjang sisi 40 cm. Hitunglah luasnya.
Langkah 4: Memberikan umpan balik
Beritahukan kepada siswa apakah jawaban mereka betul atau salah. Jika betul berikan penguatan atau konfirmasi. Misalnya, “Ya jawabanmu betul”. Jika salah berikan koreksi atau pembetulan.

Langkah 5: Berikan tes
Berikan soal-soal tes secukupnya menggunakan bilangan yang berbeda dengan soal latihan untuk meyakinkan bahwa siswa bukan sekedar hafal soal tetapi betul-betul menguasai cara menghitung luas bujur sangkar.

6. Strategi penyampaian prosedur
Tujuan mempelajari prosedur adalah agar siswa dapat melakukan atau mempraktekkan prosedur tersebut, bukan sekedar paham atau hafal.
Termasuk materi pembelajaran jenis prosedur adalah langkah-langkah mengerjakan suatu tugas secara urut. Misalnya langkah-langkah menyetel televisi.
Langkah-langkah mengajarkan prosedur meliputi:
a. Menyajikan prosedur
b. Pemberian bantuan dengan jalan mendemonstrasikan bagaimana cara melaksanakan prosedur
c. Memberikan latihan (praktek)
d. Memberikan umpan balik
e. Memberikan tes.

Contoh:
Prosedur menelpon di telpon umum koin.
Langkah-langkah mengajarkan prosedur:
Langkah 1: Menyajikan prosedur
Sajikan langkah-langkah atau prosedur menelpon dengan menggunakan bagan arus (flow chart)

Langkah 2: Memberikan bantuan
Beri bantuan agar murid hafal, paham, dan dapat menelpon dengan jalan mendemonstrasikan cara menelpon.

Langkah 3: Pemberian latihan
Tugasi siswa paraktek berlatih cara menelpon.

Langkah 4: Pemberian umpan balik
Beritahukan apakah yang dilakukan siswa dalam praktek sudah betul atau salah. Beri konfirmasi jika betul, dan koreksi jika salah.

Langkah 5: Pemberian tes
Berikan tes dalam bentuk “do it test”, artinya siswa disuruh praktek, lalu diamati.

7. Strategi mengajarkan/menyampaikan materi aspek afektif
Termasuk materi pembelajaran aspek sikap (afektif) menurut Bloom (1978) adalah pemberian respons, penerimaan suatu nilai, internalisasi, dan penilaian.
Beberapa strategi mengajarkan materi aspek sikap antara lain: penciptaan kondisi, pemodelan atau contoh, demonstrasi, simulasi, penyampaian ajaran atau dogma.
Contoh:
Penciptaan kondisi. Agar memiliki sikap tertib dalam antrean, di depan loket dipasang jalur untuk antri berupa pagar besi yang hanya dapat dilalui seorang demi seorang secara bergiliran.
Pemodelan atau contoh: Disajikan contoh atau model seseorang baik nyata atau fiktif yang perilakunya diidolakan oleh siswa. Misalnya tokoh Bima dalam Mahabarata. Sifat Bima yang gagah berani dapat menjadi idola anak.

B. Strategi mempelajari bahan ajar oleh siswa
Ditinjau dari guru, perlakuan (treatment) terhadap materi pembelajaran berupa kegiatan guru menyampaikan atau mengajarkan kepada siswa. Sebaliknya, ditinjau dari segi siswa, perlakuan terhadap materi pembelajaran berupa mempelajari atau berinteraksi dengan materi pembelajaran. Secara khusus dalam mempelajari materi pembelajaran, kegiatan siswa dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu menghafal, menggunakan, menemukan, dan memilih.
Penjelasan dan contoh disajikan sebagai berikut:
1. Menghafal (verbal & parafrase)
Ada dua jenis menghafal, yaitu menghafal verbal (remember verbatim) dan menghafal parafrase (remember paraphrase). Menghafal verbal adalah menghafal persis seperti apa adanya. Terdapat materi pembelajaran yang memang harus dihafal persis seperti apa adanya, misalnya nama orang, nama tempat, nama zat, lambang, peristiwa sejarah, nama-nama bagian atau komponen suatu benda, dsb. Sebaliknya ada juga materi pembelajaran yang tidak harus dihafal persis seperti apa adanya tetapi dapat diungkapkan dengan bahasa atau kalimat sendiri (hafal parafrase). Yang penting siswa paham atau mengerti, misalnya paham inti isi Pembukaan UUD 1945, definisi saham, dalil Archimides, dsb.

2. Menggunakan/mengaplikasikan (Use)
Materi pembelajaran setelah dihafal atau dipahami kemudian digunakan atau diaplikasikan. Jadi dalam proses pembelajaran siswa perlu memiliki kemampuan untuk menggunakan, menerapkan atau mengaplikasikan materi yang telah dipelajari.
Penggunaan fakta atau data adalah untuk dijadikan bukti dalam rangka pengambilan keputusan. Contoh, berdasar hasil penggalian ditemukan fakta terdapatnya emas perhiasan yang sudah jadi, setengah jadi, perhiasan yang telah rusak, tungku, bahan emas batangan di bekas peninggalan sejarah di desa Wonoboyo Klaten Jawa Tengah. Dengan menggunakan fakta tersebut, ahli sejarah berkesimpulan bahwa lokasi tersebut tempat bekas pengrajin emas.
Penggunaan materi konsep adalah untuk menyusun proposisi, dalil, atau rumus. Seperti diketahui, dalil atau rumus merupakan hubungan antara beberapa konsep. Misalnya, dalam berdagang “Jika penjualan lebih besar daripada biaya modal maka akan terjadi laba atau untung”. Konsep-konsep dalam jual beli tersebut meliputi penjualan, biaya modal, laba, untung, dan konsep “lebih besar”.
Selain itu, penguasaan atas suatu konsep digunakan untuk menggeneralisasi dan membedakan. Contoh, seorang anak yang telah memahami konsep “jam adalah alat penunjuk waktu”, akan dapat menggeneralisir bahwa bagaimanapun berbeda-beda bentuk dan ukurannya, dapat menyimpulkan bahwa benda tersebut adalah jam.
Penerapan atau penggunaan prinsip adalah untuk memecahkan masalah pada kasus-kasus lain. Contoh, seorang siswa yang telah mampu menghitung luas persegi panjang setelah mempelajari rumusnya, dapat menentukan luas persegi panjang di manapun dan berapapun besarnya panjang dan lebar persegi panjang yang harus dihitung luasnya.
Penggunaan materi prosedur adalah untuk dikerjakan atau dipraktekkan. Seorang siswa yang telah hafal dan berlatih mengendarai sepeda motor, dapat mengendarai sepeda motor tersebut.
Penggunaan prosedur (psikomotorik) adalah untuk mengerjakan tugas atau melakukan suatu perbuatan. Sebagai contoh, siswa dapat mengendarai sepeda motor setelah menghafal langkah-langkah atau prosedur mengendarai sepeda motor.
Penggunaan materi sikap adalah berperilaku sesuai nilai atau sikap yang telah dipelajari. Misalnya, siswa berhemat air dalam mandi dan mencuci setelah mendapatkan pelajaran tentang pentingnya bersikap hemat.



3. Menemukan
Yang dimaksudkan penemuan (finding) di sini adalah menemukan cara memecahkan masalah-masalah baru dengan menggunakan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang telah dipelajari.
Menemukan merupakan hasil tingkat belajar tingkat tinggi. Gagne (1987) menyebutnya sebagai penerapan strategi kognitif. Misalnya, setelah mempelajari hukum bejana berhubungan seorang siswa dapat membuat peralatan penyiram pot gantung menggunakan pipa-pipa paralon. Contoh lain, setelah mempelajari sifat-sifat angin yang mampu memutar baling-baling siswa dapat membuat protipe, model, atau maket sumur kincir angin untuk mendapatkan air tanah.

4. Memilih
Memilih di sini menyangkut aspek afektif atau sikap. Yang dimaksudkan dengan memilih di sini adalah memilih untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Misalnya memilih membaca novel dari pada membaca tulisan ilmiah. Memilih menaati peraturan lalu lintas tetapi terlambat masuk sekolah atau memilih melanggar tetapi tidak terlambat, dsb.


IX. MATERI PRASYARAT, PERBAIKAN, DAN PENGAYAAN (REMEDIAL & ENRICHMENT)
Dalam mempelajari materi pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar terdapat beberapa kemungkinan pada diri siswa, yaitu siswa belum siap bekal pengetahuannya, siswa mengalami kesulitan, atau siswa dengan cepat menguasai materi pembelajaran.
Kemungkinan pertama siswa belum memiliki pengetahuan psyarat. Pengetahuan prasyarat adalah bekal pengetahuan yang diperlukan untuk mempelajari suatu bahan ajar baru. Misalnya, untuk mempelajari perkalian siswa harus sudah mempelajari penjumlahan. Untuk mengetahui apakah siswa telah memiliki pengetahuan prasyarat, guru harus mengadakan tes prasyarat (prequisite test). Jika berdasar tes tersebut siswa belum memiliki pengetahuan prasyarat, maka siswa tersebut harus diberi materi atau bahan pembekalan. Bahan pembekelan (matrikulasi) dapat diambil dari materi atau modul di bawahnya.
Dalam menghadapi kemungkinan kedua, yaitu siswa mengalami kesulitan atau hambatan dalam menguasai materi pembelajaran, guru harus menyediakan materi perbaikan (remedial). Materi pembelajaran remedial disusun lebih sederhana, lebih rinci, diberi banyak penjelasan dan contoh agar mudah ditangkap oleh siswa. Untuk keperluan remedial perlu disediakan modul remidial.
Dalam menghadapi kemungkinan ketiga, yaitu siswa dapat dengan cepat dan mudah menguasai materi pembelajaran, guru harus menyediakan bahan pengayaan (enrichment). Materi pengayaan berbentuk pendalaman dan perluasan. Materi pengayaan baik untuk pendalaman maupun perluasan wawasan dapat diambilkan dari buku rujukan lain yang relevan atau disediakan modul pengayaan.

Selain pengayaan, perlu dipertimbangkan adanya akselerasi alami di mana siswa dimungkinkan untuk mengambil pelajaran berikutnya. Untuk keperluan ini perlu disediakan bahan atau modul akselerasi.

BAHAN ACUAN
Abdul Gafur (1986). Disain instruksional: langkah sistematis penyusunan pola dasar kegiatan belajar mengajar. Sala: Tiga Serangkai.
Abdul Gafur (1987). Pengaruh strategi urutan penyampaian, umpan balik, dan keterampilan intelektual terhadap hasil belajar konsep. Jakarta : PAU - UT.
Bloom et al. (1956). Taxonomy of educational objectives: the classification of educational goals. New York: McKay.

Center for Civics Education (1997). National standard for civics and governement. Calabasas CA: CEC Publ.
Dick, W. & Carey L. (1978). The systematic desgin of instruction. Illinois: Scott & Co. Publication.
Direktorat Pendidikan Menengah Umum (2001). Kebijakan pendidikan menengah umum. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Edwards, H. Cliford, et.all (1988). Planning, teaching, and evaluating: a competency approach. Chicago: Nelson-Hall.
Hall, Gene E & Jones, H.L. (1976) Competency-based education: a process for the improvement of education. New Jersey: Englewood Cliffs, Inc.
Joice, B, & Weil, M. (1980). Models of teaching. New Jersey: Englewood Cliffs, Publ.
Kemp, Jerold (1977). Instructional design: a plan for unit and curriculum development. New Jersey: Sage Publication.
Kaufman, Roger A. (1992). Educational systems planning. New Jersey: Englewood Cliffs.
Marzano RJ & Kendal JS (1996). Designing standard-based districs, schools, and classrooms. Vriginia: Assiciation for Supervision and Curriculum Development.
McAshan, H.H. (1989). Competency-based education and behavioral objectives. New Jersey: Educational Technology Publications, Engelwood Cliffs.
Oneil Jr., Harold F. (1989). Procedures for instructional systems development. New York: Academic Press.
Reigeluth, Charles M. (1987) Instructional theories in action: lessons illustrating selected theories and models. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publ.
Russell, James D. (1984). Modular instruction: a guide to design, selection, utilization and evaluation of modular materials. Minneapolis: Burgess Publishing Company.

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA


PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA


A. Pendahuluan
Salah satu permasalah pendidikan di negara kita adalah masih rendahnya kualitas pendidikan. Sejumlah faktor penyebab dapat dikemukakan untuk menjelaskan fenomena redahnya mutu pendidikan tersebut. Pendidikan lebih berorientasi pada pengembangan intelegensi akademik (membuat manusia pintar) dan kurang meperhatikan terbentuknya manusia yang berbudaya (educated and civilized human being). Pendidikan cenderung direduksi sebagai proses untuk lulus dan sebagai akibatnya praktik pendidikan kurang memperhatikan aspek pemberdayaan. Penerapan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak konsekuen dalam kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan. Penerapan pendekatan itu lebih ditekankan pada aspek masukan dan kurang memperhatikan proses (Sarwiji Suwandi, 2003: 1).
Praktik pembelajaran di kelas pun masih lebih menekankan aspek pengetahuan daripada keterampilan. Hal ini tidak sesuai lagi dengan paradigma baru pendidikan. Anak akan belajar lebih baik melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan yang alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak ‘mengalami’ apa yang dipelajarinya, bukan ‘mengetahui’-nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kemampuan ‘mengingat’ jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Depdiknas, 2003: 1).
Berkenaan dengan permasalahan-permasalahan di atas, makalah ini akan menjelaskan (1) model-model pembelajaran, (2) pembelajaran yang berpusat pada siswa, (3) metode pembelajaran yang mendukung SCL (Student Centered Learnig).


B. Model-Model Pembelajaran
Istilah model secara khusus diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Berdasarkan pengertian tersebut, model pembelajaran dapat dijelaskan sebagai kerangka konseptual yang digunakan guru sebagai acuan dalam pelaksanakan belajar-mengajar di kelas.
Setiap model pembelajaran memiliki unsur sintakmatik, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak instruksional dan pengiring. Selain itu, setiap model didasarkan pada asumsi tertentu. Sebagai ilustrasi berikut dikemukakan sebuah model pembelajaran, yaitu Model Pertemuan Kelas.

Model Pertemuan Kelas
Tujuan dan asumsi
Glasser dalam Joyce dan Wail, sebagaimana dikutip Udin (2001:29-33) bertolak dari pemikiran bahwa pada umumnya masalah-masalah kemanusiaan merupakan kegagalan dari fungsi sosial dalam kerangka pemenuhan kebutuhan dasar untuk dicintai dan dihargai. Kedua kebutuhan itu berakar pada hubungan antarmanusia sesuai dengan norma kehidupan kelompok. Di dalam kelas rasa cinta tercermin dalam bentuk tanggung jawab sosial untuk saling membantu dan saling memperhatikan satu sama lain. Diyakini bahwa sekolah telah gagal bukan di dalam menampilkan profil akademis tetapi di dalam memperkuat hubungan yang penuh kehangatan, konstruktif, untuk mencapai keberhasilan. Rasa dicintai dan mencintai bagi sebagian besar manusia akan melahirkan rasa memiliki harga diri.
Asumsi yang kedua, berdasarkan konsep terapi dalam perubahan perilaku. Metode terapi yang bersifat tradisional sering bersifat tidak realistik sebagai akibat dari tidak fungsionalnya perilaku. Glasser mencoba berusaha untuk memperbaiki penampilan dan memenuhi kebutuhan dengan cara membantu orang lain mengenai apa yang nyata, apa yang bertanggungjawab dan mana yang benar. Tujuan dari terapi ini ialah meningkatkan kemampuan untuk memenuhi komitmen kebutuhan emosional orang lain untuk merasa berharga, dicintai, dan memiliki identitas.

Sintakmatik
Model ini memiliki enam tahap sebagai berikut:
Tahap pertama : Membangun iklim keterlibatan
1. Mendorong siswa untuk berpartisipasi dan berbicara untuk dirinya sendiri,
2. Berbagi pendapat tanpa saling menyalahkan atau menilai.

Tahap kedua: Menyajikan masalah untuk didiskusikan
1. Siswa dan atau pengajar membawa isu atau masalah.
2. Memaparkan masalah secara utuh,
3. Mengidentifikasi akibat yang mungkin timbul,
4. Mengidentifikasi norma sosial.

Tahap ketiga: Membuat keputusan nilai personal
1. Mengidentifikasi nilai yang ada di balik masalah perilaku dan norma sosial
2. Siswa membuat kajian personal tentang norma yang harus diikuti sesuai dengan nilai yang dimiliki.

Tahap keempat: Mengidentifikasi plihan tindakan
1. Siswa mendiskusikan berbagai pilihan atau alternatif perilaku,
2. Siswa bersepakat tentang pilihannya itu.

Tahap kelima: Membuat komentar
Siswa membuat komentar secara umum.

Tahap keenam: Tindak lanjut perilaku
Setelah periode tertentu, mahasiswa menguji efektivitas dari komitmen dan perilaku baru itu.

Sistem Sosial
Model Pertemuan Kelas ini diorganisasikan secara terstruktur. Kepemimpinan, yakni tanggung jawab untuk membimbing interaksi melalui tahap-tahap tersebut terletak pada tangan guru. Walaupun demikian diharapkan pula siswa dapat mengambil inisiatif dalam memilih topik diskusi setelah mengalami beberapa aktivitas. Walaupun jawaban ada pada tangan guru, keputusan moral terletak pada diri mahasiswa. Apa yang dikemukakan oleh guru pada saat mendengarkan pemaparan kajian nilai tidaklah menentukan.

Prinsip Pengelolaan/Reaksi
Perilaku guru (pengajar) dibimbing oleh tiga prinsip:
1. Prinsip melibatkan siswa dengan menumbuhkan suasana yang hangat, personal, menarik, dan hubungan yang peka antara siswa dan guru.
2. Dengan melalui sikap tidak menentukan, guru harus dapat menerima tanggung jawab untuk mendiagnosis perilaku siswa.
3. Kelas sebagai satu kesatuan memilih dan mengikuti alternatif perilaku yang ada.

Sistem Pendukung
Yang diperlukan untuk melaksanakan model ini ialah guru yang memiliki kepribadian yang hangat dan terampil dalam mengelola hubungan interpersonal dan diskusi kelompok. Ia juga harus mampu untuk menciptakan iklim kelas yang terbuka dan tidak bersifat defensif atau selalu bertahan diri, dan pada saat yang bersamaan ia mampu membimbing kelompok menuju penilaian perilaku, komitmen dan tindak lanjut dari perilaku itu.


Dampak Instruksional dan Pengiring

Dampak instruksional dan pengiring dari model ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:







Dampak instruksional
Dampak pengiring


Untuk kepentingan praktis model tersebut oleh Udin (2001: 33) diadaptasi dalam bentuk kerangka operasional sebagai tampak pada Gambar 2 berikut.

KEGIATAN GURU LANGKAH POKOK KEGIATAN SISWA

▪Ciptakan situasi yang
Kondusif


▪Melibatkan Diri dalam
Situasi

▪ Pancing munculnya
masalah
▪ Paparkan Konteks
Masalah

▪Kemukakan masalah
▪Paparkan Konteks Masalah

▪Identifikasi Nilai di Balik
Masalah


▪Buat Keputusan Nilai
Terkait Masalah

▪Pancing Munculnya
alternatif Tindakan


▪Pilih Alternatif Tindakan
Terbaik

▪Pancing Mahasiswa



▪Beri Komentar Umum

▪Kaji Komitmen Mahasiswa
terhadap Perilaku Baru


▪Tunjukkan Komitmen
terhadap Perilaku

Gambar 2. Model Pertemuan Kelas


C. Pembelajaran yang Berpusat pada Siswa
Untuk dapat mewujudkan keefektifan belajar (siswa memiliki kompetensi), guru perlu menciptakan pembelajaran yang berpusat pada aktivitas belajar siswa (Student Centered Learning atau SCL), dan bukan hanya pada aktivitas guru mengajar. Situasi pembelajaran dalam SCL di antaranya bercirikan:
(1) Siswa belajar baik secara individu maupun berkelompok untuk membangun pengetahuan dengan cara mencari dan menggali sendiri informasi dan keterampilan yang dibutuhkan secara aktif daripada sekedar menjadi penerima pengetahuan secara pasif.
(2) Guru lebih berperan sebagai FEE dan guides on the sides daripada sebagai mentor in the center, yaitu membantu siswa mengakses informasi, menata dan mentransfernya guna menemukan solusi terhadap permasalahan nyata sehari-hari.
(3) Siswa tidak sekadar kompeten dalam mata pelajaran, tetapi juga kompeten dalam belajar. Artinya, siswa tidak hanya menguasai isi pe;ajaran tetapi mereka juga belajar tentang bagaimana belajar (learn how to learn), melalui discovery ,inquiry, dan problem solving.
(4) Belajar menjadi kegiatan yang difasilitasi oleh guru, yang mampu mengelola pembelajarannya menjadi berorientasi pada siswa.
(5) Belajar lebih dimaknai sebagai belajar sepanjang hayat (learning throught of life), suatu keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja.
(6) Belajar termasuk memanfaatkan teknologi yang tersedia, baik berfungsi sebagai sumber informasi pembelajaran maupun sebagai alat untuk memberdayakan siswa dalam mencapai keterampilan utuh (intelektual, emosional, dan psikomotor) yang dibutuhkan.

Tabel 1. Perbedaan Pembelajaran Teacher Centered
dan Student Centered Learning

No Teacher Centered Student Centered Learning
1 Pengetahuan ditransfer dari guru ke siswa Siswa secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya
2 Siswa menerima pengetahuan secara pasif Siswa secara aktif terlibat dalam mengelola pengetahuan

3 Lebih menekankan pada penguasaan materi Tidak hanya menekankan pada penguasaan materi tetapi juga dalam mengembangkan karakter mahasiswa (life-long learning)
4 Biasanya memanfaatkan media tunggal Memanfaatkan banyak media( multimedia)
5 Fungsi dguru atau pengajar sebagai pemberi informasi utama dan evulator Fungsi guru sebagai fasilitator dan evaluasi dilakukan bersama dengan mahasiswa
6 Proses pembelajaran dan penilaian dilakukan secara terpisah Proses pembelajaran dan penilaian dilakukan saling berkesinambungan dan terintegrasi
7 Menekankan pada jawaban yang benar saja Penekanan pada proses pengembangan pengetahuan. Kesalahan dinilai dapat menjadi salah satu sumber belajar
8 Sesuai untuk mengembangkan ilmu dalam satu disiplin saja Sesuai untuk pengembangan ilmu dengan cara pendekatan interdislipiner
9 Iklim belajar lebih individualis dan kompetitif Iklim yang dikembangkan lebih bersifat kolaboratif, suportif dan kooperatif
10 Hanya siswa dianggap melakukan proses pembelajaran Mahasiswa dan dosen belajar bersama di dalam mengembangkan pegetahuan, konsep dan keterampilan
11 Perkuliahan merupakan bagian terbesar dalam proses pembelajaran Mahasiswa belajar tidak hanya dari perkuliahan saja tetapi dapat menggunakan berbagai cara dan kegiatan
12 Penekanan pada tuntasnya materi pembelajaran Penekanan pada pencapaian kompetensi peserta didik dan bukan tuntasnya materi.
13 Penekanan pada begaimana cara dosen melakukan pembelajaran Penekanan pada bagaimana cara mahasis-wa dapat belajar dengan menggunakan berbagai bahan pelajaran, metode pada problem based learning dan skill competency

Terdapat sejumlah alasan mengenai diperlukannya SCL. Alasan-alasan itu antara lain adalah:
(1) SCL sesuai dengan penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi;
(2) untuk mengantisipasi dan mengakomodasi perubahan dalam dalam berbagai bidang yang menyebabkan informasi dalam buku teks dan artikel-artikel yang ditulis lebih cepat kadaluarsa;
(3) Pada masa mendatang, dunia kerja membutuhkan teanga kerja yang berpendidikan baik, yang mampu bekerja sama dengan tim, memiliki kemampuan memecahkan masalah secara efektif, mampu memproses dan memanfaatkan informasi, serta mampu memanfaatkan teknologi secara efektif dalam rangka meningkatkan produktivitas. Oleh sebab itu, proses pembelajaran harus difokuskan pada pemberdayaan dan peningkatan kemampuan siswa dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Dalam pembelajaran SCL, ada sejumlah aspek yang diperhatikan guru agar pembelajaran menjadi aktif, kreatif, dinamis, dialogis, dan efektif. Aspek-aspek itu adalah:
(1) memahami tujuan dan fungsi belajar, guru perlu memahami konsep-konsep mendasar dan cara belajar sesuai dengan pengalaman siswa serta memusatkan pembelajaran pada mereka;
(2) mengenal siswa sebagai individu beserta perbedaan kemampuannya untuk menentukan berbagai metode dan strategi yang mendorong kreativitas;
(3) menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang serta memanfaatkan organisasi kelas agar mahasiswa dapat saling membantu dalam melakukan tugas belajar tertentu;
(4) mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah;
(5) memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar serta memberikan muatan nilai, etika, estetika, dan logika;
(6) memberikan umpan balik yang baik untuk mendorong kegiatan belajar; dan menyediakan pengalaman belajar yang beragam.

D. Metode Pembelajaran yang Mendukung SCL
Setelah dipahami konsep model pembelajaran serta pentingnya pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Centered Learning), pertanyaan yang perlu segera diajukan adalah metode pembelajaran apa sajakah yang sesuai dan mendukung SCL tersebut? Terdapat beragam metode pembelajaran untuk SCL, yang antara lain adalah (1) Small Group Discussion, (2) Role-Play & Simulation, (3) Discovery Learning (DL), (4) Self-Directed Learning (SDL), (5) Cooperative Learning (CL), (6) Collaborative Learning (CbL), (7) Contextual Instruction (CI), (8) Project Based Learning (PjBL), dan (9) Problem Based Learning and Inquiry (PBL) (Depdiknas, 2005). Uraian berikut akan menjelaskan scara singkat metode-metode tersebut.



1. Small Group Discussion
Apakah yang dimaksud dengan Small Group Discussion? Diskusi adalah salah satu elemen belajar secara aktif dan merupakan bagian dari banyak model pembelajaran SCL yang lain, seperti CL, CbL, PBL, dan lain-lain. Siswa diminta membuat kelompok kecil (5 sampai 10 orang) untuk mendiskusikan bahan yang diberikan oleh guru atau bahan yang diperoleh sendiri oleh anggota kelompok tersebut.
Dengan aktivitas kelompok kecil, siswa akan belajar:
a. Menjadi pendengar yang baik
b. Bekerjasama untuk tugas bersama
c. Memberikan dan menerima umpan balik yang konstruktif
d. Menghormati perbedaan pendapat
e. Mendukung pendapat dengan bukti
f. Menghargai sudut pandang yang bervariasi (gender, budaya, dan lain-lain)
Aktivitas diskusi kelompok kecil dapat berupa
a. Membangkitkan ide
b. Menyimpulkan butir penting
c. Mengakses tingkat skill dan pengetahuan
d. Mengkaji kembali topik si kelas sebelumnya
e. Menelaah latihan, quiz, tugas menulis
f. Memproses outcome pembelajaran pada akhir kelas
g. Memberi komentar tentang jelasnya kelas
h. Membandingkan teori, isu, dan interpretasi
i. Menyelesaikan masalah
j. Brainstroming

2. Role-Play & Simulation
Simulasi adalah model yang membawa situasi yang mirip dengan sesungguhnya ke dalam kelas. Misalnya untuk pembelajaran berbiacara dan apresiasi drama. Simulasi dapat berbentuk:
a. Permainan peran (role playing). Dalam contoh di atas, setiap siswa dapat diberi peran masing-masing, misalnya sebagai direktur, pencari kerja, orang tua siswa, teman sepermainan, dan lain-lain
b. Simulantion exercices and simulation games
c. Model komputer
Simulasi dapat mengubah cara pandang (mindset) siswa, dengan jalan:
a. mempraktikan kemampuan umum (misal komunikasi verbal & nonverbal)
b. mempraktikan kemampuan khusus
c. mempraktikan kemampuan tim
d. mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving)
e. meggunakan kemampuan sintesis
f. mengembangkan kemampuan empati


3. Discovery Learning (DL)
Discovery Learning (DL) adalah metode belajar yang difokuskan pada pemanfaatan informasi yang tersedia, baik yang diberikan guru maupun yang dicari sendiri oleh siswa, untuk membangun pengetahuan dengan cara belajar mandiri.

4. Self-Directed Learning (SDL)
Self-Directed Learning (SDL) adalah proses belajar yang dilakukan atas inisiatif individu siswa sendiri. Dalam hal ini, perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap pengalaman belajar yang telah dijalani, dilakukan semuanya oleh individu yng bersangkutan. Sementara guru hanya bertindak sebagai fasilitator, yang memberikan arahan, bimbingan, dan konfirmasi terhadap kemajuan belajar yang telah dilakukan individu siswa tersebut.
Metode belajar ini bermanfaat untuk menyadarkan dan memberdayakan siswa, bahwa belajar adalah tanggung jawab mereka sendiri. Dengan kata lain, individu siswa didorong untuk bertanggungjawab terhadap semua pikiran dan tindakan yang dilakukannya.
Metode pembelajaran SDL dapat diterapkan apabila asumsi berikut sudah terpenuhi. Sebagai orang dewasa, kemampuan siswa semestinya bergeser dari orang yang bergantung pada orang lain menjadi individu yang mampu belajar mandiri.
a. Pengalaman merupakan sumber belajar yang sangat bermanfaat.
b. Kesiapan belajar merupakan tahap awal menjadi pembelajar mandiri.
c. Orang dewasa lebih tertarik belajar dari permasalahan daripada dari isi mata kuliah.
d. Pengakuan, penghargaan, dan dukungan terhadap proses belajar orang dewasa perlu diciptakan dalam lingkungan belajar. Dalam hal ini, guru dan siswa harus memiliki semangat yang saling melengkapi dalam melakukan pencarian pengetahuan.

5. Cooperative Learning
Cooperative Learning (CL) adalah metode belajar berkelompok yang dirancang oleh guru untuk memecahkan suatu masalah/kasus atau mengerjakan suatu tugas. Kelompok ini terdiri atas beberapa orang siswa, yang memiliki kemampuan akademik yang beragam.
Metode ini sangat berstruktur karena pembentukan kelompok, materi yang dibahas, langkah-langkah diskusi, serta produk akhir yang harus dihasilkan, semuanya ditentukan dan dikontrol oleh guru. Siswa alam hal ini hanya mengikuti prosedur yang dirancang oleh guru. Pada dasarnya CL seperti ini merupakan perpaduan antara teacher-centered dan student-centered learning.
Menurut Roger dan David Jhonson (dalam Anita Lie, 2005: semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong harus diterapkan yaitu: (a) saling ketergantungan positif, (b) tanggung jawab positif, (c) tatap muka, (d) komunikasi antaranggota, dan (e) evaluasi proses kelompuk.
CL bermanfaat untuk membantu menumbuhkan dan mengasah:
a. Kebiasaan belajar aktif pada diri siswa.
b. Rasa tanggung jawab individu dan kelompok siswa.
c. Kemampuan dan keterampilan kerjasama antarsiswa
d. Keterampilan sosial siswa.


6. Collaborative Learning (CBL)
Collaborative Learning (CBL) adalah metode belajar yang menitik beratkan pada kerjasama antarsiswa yang didasarkan pada konsensus yang dibangun sendiri oleh anggota kelompok. Masalah/tugas/kasus mamang berasal dari guru dan bersifat open ended, tetapi pembentukan kelompok yang didasrkan pada minat, prosedur kerja kelompok, penentuan waktu dan tempat diskusi/ kerja kelompok, sampai dengan bagaimana hasil diskusi/ kerja kelompok yang ingin dinilai oleh dosen, semuanya ditentukan melalui konsensus bersama antaranggota kelompok.


7. Contextual Teaching and Learning (CTL)
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan isi mata pelajaran dengan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari dan memotivasi siswa untuk membuat keterhubungan antara hubungan dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota masyarakat, pelaku kerja profesional atau manajerial, entepreneur, maupun investor.
Pada intinya ada 7 komponen CTL, yaitu (1) konstruktivisme, (2) menemukan, (3) betanya, (4) masyarakat belajar, (5) pemodelan, (6) refleksi, dan (7) penilaian yang sebenarnya.

8. Project-Based Learning (PjBL)
Project-Based Learning (PjBL) adalah metode belajar yang sistematis, yang melibatkan siswa dalam belajar pengetahuan dan keterampilan melalui proses pencarian dan penggalian (inquiry) yang panjang dan berstruktur terhadap pertanyaan yang otentik dan kompleks serta tugas dan produk yang dirancang dengan sangat hati-hati.


9. Problem-Based Learning/Inquiry (PBL/I)
Problem-Based Learning/Inquiry (PBL/I) adalah belajar dengan memanfaatkan masalah dan siswa harus melakukan pencarian dan penggalian informasi (inquiry) untuk dapat memecahkan masalah tersebut. Pada umumnya, terdapat empat langkah yang perlu dilakukan mahasiswa dalam PBL/I, yaitu:
a. Kebiasaan belajar aktif pada diri siswa. Menerima masalah yang relevan dengan salah satu/ beberapa kompetensi yang dituntut dari gurunya.
b. Melakukan pencarian data dan informasi yang relevan untuk memecahkan masalah.
c. Menata data dan mengaitkan data dengan masalah.
d. Menganalisis strategi pemecahan masalah.

F. Penutup
Beragam model pembelajaran telah diuraikan di atas. Terhadap berbagai macam model serta metode pembelajaran terebut wajar jika terdapat respon yang berbeda-beda dari para guru. Barangkali ada yang merasa betapa berat menjadi guru jika harus menerapkan berbagai model tersebut. Namun demikian, barangkali ada pula yang merespon sebaliknya., yakni betapa dunia pembelajaran menawarkan serangkaian pengalaman serta tantangan yang mengasyikkan; makin masuk ke dalam dunia tersebut serta menghayatinya, mereka terasa menemukan suatu pengalaman yang luar biasa bermakna. Pengalaman bermakna itu bukan saja dirasakan oleh anak didik, tetapi juga bagi dirinya. Pemaknaan terhadap dunia dan profesi yang digelutinya tersebut bukan saja berkutat pada tataran penerapan model dalam pelaksanaan pembelajaran, tetapi bahkan mampu memotivasi dan menstimulasi diri untuk secara kreatif mengembangkan dan menemukan berbagai metode pembelajaran yang baru. Sungguh luar biasa! Sudahkah kita memulainya? Semoga.





DAFTAR PUSTAKA


Anita Lie. 2005. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Gramedia Widiasarana.

Dahlan, M.D. (Ed.) 1990. Model-Model Mengajar. Bandung: CV Diponegoro.

Depdiknas. 2002. Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

______. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta: Direktorat SLTP Ditjen Dikdasmen Depdiknas.

Udin S. Winataputra. 2001. Model-Model Pembelejaran Inovatif. Jakarta: Pusat Antar Universitas Ditjen Dikti Depdiknas.

Sarwiji Suwandi. 1999. “Reformasi Pendidikan Mewujudkan Manusia Kreatif, Produktif, dan Demokratis” dalam Majalah Motivasi Edisi XXIII. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

_________. 2001. “Peningkatan Profesionalisme Guru Bahasa Indonesia” Makalah disajikan dalam Seminar Nasional XI Bahasa dan Sastra Indonesia yang diselengarakan Himpunan Pembina Bahasa Indonesia , Denpasar Bali10—12 Juli 2001.

_________. 2002. “Upaya Meningkatkan Kemampuan Profesional Guru Bahasa Indonesia dengan Pendekatan Supervisi Klinis” dalam Varidika Vol 14 No. 24. Surakarta: Universitas Muhammadiyah.

_________. 2003. “Peranan Guru dalam Meningkatkan Kemahiran Berbahasa Indonesia Siswa Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi” Makalah disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Hotel Indonesia Jakarta, 14—17 Oktober 2003.

































Oleh:

Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.






LEMBAGA PENJAMIN MUTU PENDIDIKAN JATENG
DITJEN PENINGKATAN MUTU AKADEMIK
DEPDIKAS
2006

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR


Pengembangan Bahan Ajar IPS
Oleh :
1. Sukardi
2. FX Sumarwan

A. Kriteria Umum
Agar siswa dapat lebih memahami isi dari pelajaran yang diberikan oleh guru, maka perlu diberikan buku yang merupakan bahan ajar. Namun demikian, bahan ajar yang diberikan kepada siswa bukan semata-mata buku saja, melainkan secara lengkap meliputi :
1. Buku pelajaran, adalah bahan/materi pelajaran yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk buku yang digunakan sebagai bahan pegangan belajar dan mengajar baik sebagai pegangan pokok maupun pelengkap.
2. Diktat, yaitu catatan tertulis suatu mata pelajaran atau bidang studi yang dipersiapkan guru untuk mempermudah / memperkaya materi mata pelajaran yang disampaikan oleh guru dalam proses kegiatan pembelajaran.
3. Modul, adalah materi pelajaran yang disusun dan disajikan secara tertulis sedemikian rupa sehingga pembacanya diharapkan dapat menyerap sendiri materi tersebut.
4. LKS merupakan petunjuk kerja bagi siswa yang meliputi langkah-langkah kerja yang harus dilakukan oleh siswa untuk memecahkan suatu masalah.
Dalam pertemuan ini yang dibahas terfokus pada masalah buku pelajaran.
Buku pelajaran sekolah merupakan buku yang diperuntukkan kepada siswa sekolah sebagai salah satu alat pendukung belajar mengajar dalam mencapai tujuan pembelajaran dan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pada prinsipnya buku pelajaran diciptakan untuk siswa, bukan untuk guru, orang tua, atau warga belajar lainnya. Oleh sebab itu, buku pelajaran harus ditulis dan diterbitkan untuk memenuhi kepentingan siswa dalam pembelajaran di sekolah. Sebagai sarana pembelajaran, buku pelajaran harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. materi isi sesuai dengan muatan kurikulum yang berlaku,
2. dapat dan mudah dipergunakan baik dalam pembelajaran di kelas maupun belajar mandiri,
3. mendukung pencapaian tujuan pembelajaran dari bidang studi yang terkait, dalam hal ini mapel IPS,
4. mendukung pencapaian tujuan pendidikan secara umum / keseluruhan / nasional.
Secara khusus, buku pelajaran harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa dalam kaitannya dengan aktivitas pembelajaran. Kebutuhan tersebut terutama mencakup aspek kesesuaian, daya guna, dan kemudahan. Oleh karena itu, buku pelajaran sebaiknya harus memenuhi beberapa standar sebagai berikut :
1. memiliki kecukupan materi dengan yang disyaratkan kurikulum;
2. dapat dipergunakan untuk proses pembelajaran mata pelajaran, baik formal maupun informal;
3. dapat digunakan untuk menanamkan kompetensisebagaimana yang ditentukan dalam kurikulum;
4. dapat dipergunakan untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan umum yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik;
5. dapat dengan mudah/praktis digunakan oleh siswa dalam pembelajaran baik di dalam kelas maupun mandiri di luar kelas;
6. dapat dengan mudah dipelajari serta dipahami isinya oleh siswa;
7. pelatihan, kegiatan, atau tugas pembelajaran yang disampaikannya relevan serta memungkinkan untuk dilaksanakan; dan
8. pelatihan, kegiatan, atau tugas pembelajaran yang disampaikannya dapat dijadikan evaluasi untuk mengukur tingkat penguasaan materi.

B. Ciri Buku Yang Baik
Bagaimanakah ciri buku pelajaran yang baik ?
Buku pelajaran yang baik adalah buku pelajaran yang benar-benar mendukung pencapaian Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu menunjang pencapaian kompetensi siswa pada tiap jenjang pendidikan.
Dengan demikian, buku pelajaran yang baik ditulis dengan standar yang tergolong tinggi. Dalam hal ini harus meliputi empat aspek pokok, yaitu materi, penyajian, bahasa/keterbacaan, dan grafika.
1. Materi
Standar yang berkaitan dengan aspek materi mencakup relevansi dan akurasi materi, kegiatan pendukung materi, kemutakhiran materi, dan kompetensi. Selengkapnya ketentuan tersebut dapat diperinci sebagai berikut :
a. Materi yang disampaikan sesuai dengan kurikulum. Kesesuaian ini mencakup juga aspek kecukupan. Artinya, sebagai standar minimal, materi yang tercantum di dalam kurikulum harus seluruhnya dibahas/disampaikan dalam buku pelajaran. Buku pelajaran dibenarkan dan dimungkinkan untuk memuat materi melebihi dari yang ditentukan kurikulum sejauh relevan, sebagai pengayaan, dan jumlahnya tidak berlebihan.
b. Materi yang disampaikan akurat. Akurasi materi menyangkut ketepatan dan kebenaran konsep, teori, dan contoh yang diberikan.
c. Kegiatan yang diberikan bersifat mendukung materi. Semua kegiatan yang diberikan harus relevan dan sifatnya meningkatkan pemahaman dan penguasaan materi sekaligus memperkuat kompetensi siswa. Kegiatan yang dimaksud dapat berupa hal-hal sebagai berikut :
1) pelatihan menjawab soal,
2) tes perbuatan/kinerja/sikap, dan
3) penugasan (diskusi, kunjungan, pencatatan, pelaporan, dll.
d. Materi yang disampaikan mutakhir. Artinya materi buku tidak ketinggalan zaman, dan sebaiknya aktual, serta sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dalam hal ini, uraian materi perlu dikaitkan dengan isu-isu lokal, nasional, dan global yang hangat, seperti beberapa contoh berikut ini.
1) Jumlah dan propinsi di Indonesia berubah-ubah, Indonesia sering dilanda bencana alam ( gempa bumi di Jogya dan Jateng, tsunami di Aceh, tanah longsor di …., dan banjir), serta muncul negara-negara baru dalam peta dunia.
2) Di Indonesia muncul kecenderungan konglomerasi yang mengarah ke kartel dan monopoli serta dalam kerja sama atau hubungan ekonomi antar negara, sehingga muncul gejala neoliberalisme yang lebih menguntungkan negara-negara kuat.
e. Di dalam satu bab, paling sedikit harus diberikan masing-masing satu pelatihan menjawab pertanyaan (objektif dan uraian).
f. Pemberian tugas atau kegiatan harus dilakukan dengan mempertimbangkan segi kontekstualitas. Artinya hal-hal yang ditugaskan atau dilakukan harus sesuai, konkrit, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa.
g. Pada setiap akhir tahun (akhir buku) perlu diberikan satu penugasan (proyek) atau kegiatan pengalaman belajar praktek secara langsung. Sebagai alternatif, beberapa kegiatan yang dapat diambil :
1) kerja lapangan singkat di instansi/dinas terdekat yang membidangi masalah-masalah geografi.
2) Praktek mendirikan usaha dagang, ternak, bercocok tanam, atau mendirikan koperasi.
3) Praktek belajar nilai kejuangan.
h. Pemberian tugas atau kegiatan juga harus diarahkan untuk menggunakan sumber-sumber belajar yang luas, bervariasi, dan aktual.
i. Materi juga perlu menyisipkan bagian-bagian tertentu yang dapat dijadikan guru untuk menilai tingkat kemajuan belajar siswa.
2. Penyajian
3. Bahasa/Keterbacaan
4. GrafikaPrinsip umum yang mendasari buku pelajaran berbasis KBK adalah sebagai berikut :
1. Kesiapan (Readiness)
Penyajian materi harus sesuai dengan kesiapan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki siswa sebelumnya.
2. Motivasi
Isi buku harus mendorong siswa untuk belajar.
3. Partisipasi aktif siswa
Buku memungkinkan siswa berinteraksi aktif di kelas melalui kegiatan bekerja, berdiskusi, mengamati, berlatih, mempraktekkan, dan mendemonstrasikan.
4. Penggunaan alat pemusat perhatian
Sediakan gambar, ilustrasi, bagan, tabel, untuk memperjelas konsep.
5. Isi interaksi sosial kognitif
Buku harus mendorong siswa untuk bertanya, menemukan sendiri melalui pancainderanya (brainstorming), pemodelan, dan penciptaan masyarakat belajar (learning community).
6. Penilaian yang sebenarnya (otentik)
Buku harus mendorong guru untuk menilai dengan beragam cara : melalui hasil kerja siswa, cara kerja siswa, dan proses kerja siswa.
7. Life Skill
Buku pe;alaran harus mendorong siswa mengembangkan life skill.
8. Keerhubungan dengan lngkungan sekitar (relating)
Materi dekat dengan siswa, yaitu lingkungan, pengetahuan yang dimliki, dan kebutuhan belajarnya.
9. Pengalaman langsung
Buku harus mendorong siswa mengalami sendiri.
10. Kooperative
Penyajian materi memungkinkan siswa bekerja sama dengan teman lain.
C. Acuan Utama
1. Kurikulum yang berlaku saat ini.
2. Kompetensi Dasar / Indikator => diambil dari kurikulum.
3. Susunan judul bab dari pertama sampai dengan terakhir yang diikuti Pokok Bahasan, Sub Pokok Bahasan, Uraian yang berbentuk deskriptif yang berbentuk narasi, atau bagan/diagram.
D. Langkah-langkah Dalam Penulisan Buku Materi
1. Bagian Pendahuluan -------- (Pengantar)
Bagian pendahuluan terdiri dari indikator, deskripsi singkat, dan relevansi :
a. Indikator => diambil dari Kompetensi Dasar
b. Deskripsi singkat => merupakan isi bab yang terdiri dari satu atau dua paragrap pernyataan.
c. Menulis relevansi isi bab :
1) Ada hubungan bab tersebut dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa masa lalu.
2) Adanya manfaat bagi siswa dalammkehidupan sehari-hari.
3) Ada hubungan dengan mata pelajaran yang sejenis lainnya.
2. Bagian Penyajian
a. Judul kegiatan atau judul materi.
b. Uraian atau penjelasan
c. Latihan dan penugasan
d. Rangkuman
e. Glosarium
3. Bagian Penutup

KESIMPULAN
1. Pendahuluan :
a. Deskripsi singkat
b. Relevansi
c. Indikator
2. Penyajian :
Judul kegiatan belajar :
a. Uraian, Contoh dan Non contoh atau Contoh, non contoh, uraian
b. Latihan / tugas
c. Rangkuman
3. Penutup
Tes/ Latihan/Penugasan .