Jumat, 24 September 2010

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA


PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA


A. Pendahuluan
Salah satu permasalah pendidikan di negara kita adalah masih rendahnya kualitas pendidikan. Sejumlah faktor penyebab dapat dikemukakan untuk menjelaskan fenomena redahnya mutu pendidikan tersebut. Pendidikan lebih berorientasi pada pengembangan intelegensi akademik (membuat manusia pintar) dan kurang meperhatikan terbentuknya manusia yang berbudaya (educated and civilized human being). Pendidikan cenderung direduksi sebagai proses untuk lulus dan sebagai akibatnya praktik pendidikan kurang memperhatikan aspek pemberdayaan. Penerapan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak konsekuen dalam kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan. Penerapan pendekatan itu lebih ditekankan pada aspek masukan dan kurang memperhatikan proses (Sarwiji Suwandi, 2003: 1).
Praktik pembelajaran di kelas pun masih lebih menekankan aspek pengetahuan daripada keterampilan. Hal ini tidak sesuai lagi dengan paradigma baru pendidikan. Anak akan belajar lebih baik melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan yang alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak ‘mengalami’ apa yang dipelajarinya, bukan ‘mengetahui’-nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kemampuan ‘mengingat’ jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Depdiknas, 2003: 1).
Berkenaan dengan permasalahan-permasalahan di atas, makalah ini akan menjelaskan (1) model-model pembelajaran, (2) pembelajaran yang berpusat pada siswa, (3) metode pembelajaran yang mendukung SCL (Student Centered Learnig).


B. Model-Model Pembelajaran
Istilah model secara khusus diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Berdasarkan pengertian tersebut, model pembelajaran dapat dijelaskan sebagai kerangka konseptual yang digunakan guru sebagai acuan dalam pelaksanakan belajar-mengajar di kelas.
Setiap model pembelajaran memiliki unsur sintakmatik, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak instruksional dan pengiring. Selain itu, setiap model didasarkan pada asumsi tertentu. Sebagai ilustrasi berikut dikemukakan sebuah model pembelajaran, yaitu Model Pertemuan Kelas.

Model Pertemuan Kelas
Tujuan dan asumsi
Glasser dalam Joyce dan Wail, sebagaimana dikutip Udin (2001:29-33) bertolak dari pemikiran bahwa pada umumnya masalah-masalah kemanusiaan merupakan kegagalan dari fungsi sosial dalam kerangka pemenuhan kebutuhan dasar untuk dicintai dan dihargai. Kedua kebutuhan itu berakar pada hubungan antarmanusia sesuai dengan norma kehidupan kelompok. Di dalam kelas rasa cinta tercermin dalam bentuk tanggung jawab sosial untuk saling membantu dan saling memperhatikan satu sama lain. Diyakini bahwa sekolah telah gagal bukan di dalam menampilkan profil akademis tetapi di dalam memperkuat hubungan yang penuh kehangatan, konstruktif, untuk mencapai keberhasilan. Rasa dicintai dan mencintai bagi sebagian besar manusia akan melahirkan rasa memiliki harga diri.
Asumsi yang kedua, berdasarkan konsep terapi dalam perubahan perilaku. Metode terapi yang bersifat tradisional sering bersifat tidak realistik sebagai akibat dari tidak fungsionalnya perilaku. Glasser mencoba berusaha untuk memperbaiki penampilan dan memenuhi kebutuhan dengan cara membantu orang lain mengenai apa yang nyata, apa yang bertanggungjawab dan mana yang benar. Tujuan dari terapi ini ialah meningkatkan kemampuan untuk memenuhi komitmen kebutuhan emosional orang lain untuk merasa berharga, dicintai, dan memiliki identitas.

Sintakmatik
Model ini memiliki enam tahap sebagai berikut:
Tahap pertama : Membangun iklim keterlibatan
1. Mendorong siswa untuk berpartisipasi dan berbicara untuk dirinya sendiri,
2. Berbagi pendapat tanpa saling menyalahkan atau menilai.

Tahap kedua: Menyajikan masalah untuk didiskusikan
1. Siswa dan atau pengajar membawa isu atau masalah.
2. Memaparkan masalah secara utuh,
3. Mengidentifikasi akibat yang mungkin timbul,
4. Mengidentifikasi norma sosial.

Tahap ketiga: Membuat keputusan nilai personal
1. Mengidentifikasi nilai yang ada di balik masalah perilaku dan norma sosial
2. Siswa membuat kajian personal tentang norma yang harus diikuti sesuai dengan nilai yang dimiliki.

Tahap keempat: Mengidentifikasi plihan tindakan
1. Siswa mendiskusikan berbagai pilihan atau alternatif perilaku,
2. Siswa bersepakat tentang pilihannya itu.

Tahap kelima: Membuat komentar
Siswa membuat komentar secara umum.

Tahap keenam: Tindak lanjut perilaku
Setelah periode tertentu, mahasiswa menguji efektivitas dari komitmen dan perilaku baru itu.

Sistem Sosial
Model Pertemuan Kelas ini diorganisasikan secara terstruktur. Kepemimpinan, yakni tanggung jawab untuk membimbing interaksi melalui tahap-tahap tersebut terletak pada tangan guru. Walaupun demikian diharapkan pula siswa dapat mengambil inisiatif dalam memilih topik diskusi setelah mengalami beberapa aktivitas. Walaupun jawaban ada pada tangan guru, keputusan moral terletak pada diri mahasiswa. Apa yang dikemukakan oleh guru pada saat mendengarkan pemaparan kajian nilai tidaklah menentukan.

Prinsip Pengelolaan/Reaksi
Perilaku guru (pengajar) dibimbing oleh tiga prinsip:
1. Prinsip melibatkan siswa dengan menumbuhkan suasana yang hangat, personal, menarik, dan hubungan yang peka antara siswa dan guru.
2. Dengan melalui sikap tidak menentukan, guru harus dapat menerima tanggung jawab untuk mendiagnosis perilaku siswa.
3. Kelas sebagai satu kesatuan memilih dan mengikuti alternatif perilaku yang ada.

Sistem Pendukung
Yang diperlukan untuk melaksanakan model ini ialah guru yang memiliki kepribadian yang hangat dan terampil dalam mengelola hubungan interpersonal dan diskusi kelompok. Ia juga harus mampu untuk menciptakan iklim kelas yang terbuka dan tidak bersifat defensif atau selalu bertahan diri, dan pada saat yang bersamaan ia mampu membimbing kelompok menuju penilaian perilaku, komitmen dan tindak lanjut dari perilaku itu.


Dampak Instruksional dan Pengiring

Dampak instruksional dan pengiring dari model ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:







Dampak instruksional
Dampak pengiring


Untuk kepentingan praktis model tersebut oleh Udin (2001: 33) diadaptasi dalam bentuk kerangka operasional sebagai tampak pada Gambar 2 berikut.

KEGIATAN GURU LANGKAH POKOK KEGIATAN SISWA

▪Ciptakan situasi yang
Kondusif


▪Melibatkan Diri dalam
Situasi

▪ Pancing munculnya
masalah
▪ Paparkan Konteks
Masalah

▪Kemukakan masalah
▪Paparkan Konteks Masalah

▪Identifikasi Nilai di Balik
Masalah


▪Buat Keputusan Nilai
Terkait Masalah

▪Pancing Munculnya
alternatif Tindakan


▪Pilih Alternatif Tindakan
Terbaik

▪Pancing Mahasiswa



▪Beri Komentar Umum

▪Kaji Komitmen Mahasiswa
terhadap Perilaku Baru


▪Tunjukkan Komitmen
terhadap Perilaku

Gambar 2. Model Pertemuan Kelas


C. Pembelajaran yang Berpusat pada Siswa
Untuk dapat mewujudkan keefektifan belajar (siswa memiliki kompetensi), guru perlu menciptakan pembelajaran yang berpusat pada aktivitas belajar siswa (Student Centered Learning atau SCL), dan bukan hanya pada aktivitas guru mengajar. Situasi pembelajaran dalam SCL di antaranya bercirikan:
(1) Siswa belajar baik secara individu maupun berkelompok untuk membangun pengetahuan dengan cara mencari dan menggali sendiri informasi dan keterampilan yang dibutuhkan secara aktif daripada sekedar menjadi penerima pengetahuan secara pasif.
(2) Guru lebih berperan sebagai FEE dan guides on the sides daripada sebagai mentor in the center, yaitu membantu siswa mengakses informasi, menata dan mentransfernya guna menemukan solusi terhadap permasalahan nyata sehari-hari.
(3) Siswa tidak sekadar kompeten dalam mata pelajaran, tetapi juga kompeten dalam belajar. Artinya, siswa tidak hanya menguasai isi pe;ajaran tetapi mereka juga belajar tentang bagaimana belajar (learn how to learn), melalui discovery ,inquiry, dan problem solving.
(4) Belajar menjadi kegiatan yang difasilitasi oleh guru, yang mampu mengelola pembelajarannya menjadi berorientasi pada siswa.
(5) Belajar lebih dimaknai sebagai belajar sepanjang hayat (learning throught of life), suatu keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja.
(6) Belajar termasuk memanfaatkan teknologi yang tersedia, baik berfungsi sebagai sumber informasi pembelajaran maupun sebagai alat untuk memberdayakan siswa dalam mencapai keterampilan utuh (intelektual, emosional, dan psikomotor) yang dibutuhkan.

Tabel 1. Perbedaan Pembelajaran Teacher Centered
dan Student Centered Learning

No Teacher Centered Student Centered Learning
1 Pengetahuan ditransfer dari guru ke siswa Siswa secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya
2 Siswa menerima pengetahuan secara pasif Siswa secara aktif terlibat dalam mengelola pengetahuan

3 Lebih menekankan pada penguasaan materi Tidak hanya menekankan pada penguasaan materi tetapi juga dalam mengembangkan karakter mahasiswa (life-long learning)
4 Biasanya memanfaatkan media tunggal Memanfaatkan banyak media( multimedia)
5 Fungsi dguru atau pengajar sebagai pemberi informasi utama dan evulator Fungsi guru sebagai fasilitator dan evaluasi dilakukan bersama dengan mahasiswa
6 Proses pembelajaran dan penilaian dilakukan secara terpisah Proses pembelajaran dan penilaian dilakukan saling berkesinambungan dan terintegrasi
7 Menekankan pada jawaban yang benar saja Penekanan pada proses pengembangan pengetahuan. Kesalahan dinilai dapat menjadi salah satu sumber belajar
8 Sesuai untuk mengembangkan ilmu dalam satu disiplin saja Sesuai untuk pengembangan ilmu dengan cara pendekatan interdislipiner
9 Iklim belajar lebih individualis dan kompetitif Iklim yang dikembangkan lebih bersifat kolaboratif, suportif dan kooperatif
10 Hanya siswa dianggap melakukan proses pembelajaran Mahasiswa dan dosen belajar bersama di dalam mengembangkan pegetahuan, konsep dan keterampilan
11 Perkuliahan merupakan bagian terbesar dalam proses pembelajaran Mahasiswa belajar tidak hanya dari perkuliahan saja tetapi dapat menggunakan berbagai cara dan kegiatan
12 Penekanan pada tuntasnya materi pembelajaran Penekanan pada pencapaian kompetensi peserta didik dan bukan tuntasnya materi.
13 Penekanan pada begaimana cara dosen melakukan pembelajaran Penekanan pada bagaimana cara mahasis-wa dapat belajar dengan menggunakan berbagai bahan pelajaran, metode pada problem based learning dan skill competency

Terdapat sejumlah alasan mengenai diperlukannya SCL. Alasan-alasan itu antara lain adalah:
(1) SCL sesuai dengan penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi;
(2) untuk mengantisipasi dan mengakomodasi perubahan dalam dalam berbagai bidang yang menyebabkan informasi dalam buku teks dan artikel-artikel yang ditulis lebih cepat kadaluarsa;
(3) Pada masa mendatang, dunia kerja membutuhkan teanga kerja yang berpendidikan baik, yang mampu bekerja sama dengan tim, memiliki kemampuan memecahkan masalah secara efektif, mampu memproses dan memanfaatkan informasi, serta mampu memanfaatkan teknologi secara efektif dalam rangka meningkatkan produktivitas. Oleh sebab itu, proses pembelajaran harus difokuskan pada pemberdayaan dan peningkatan kemampuan siswa dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Dalam pembelajaran SCL, ada sejumlah aspek yang diperhatikan guru agar pembelajaran menjadi aktif, kreatif, dinamis, dialogis, dan efektif. Aspek-aspek itu adalah:
(1) memahami tujuan dan fungsi belajar, guru perlu memahami konsep-konsep mendasar dan cara belajar sesuai dengan pengalaman siswa serta memusatkan pembelajaran pada mereka;
(2) mengenal siswa sebagai individu beserta perbedaan kemampuannya untuk menentukan berbagai metode dan strategi yang mendorong kreativitas;
(3) menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang serta memanfaatkan organisasi kelas agar mahasiswa dapat saling membantu dalam melakukan tugas belajar tertentu;
(4) mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah;
(5) memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar serta memberikan muatan nilai, etika, estetika, dan logika;
(6) memberikan umpan balik yang baik untuk mendorong kegiatan belajar; dan menyediakan pengalaman belajar yang beragam.

D. Metode Pembelajaran yang Mendukung SCL
Setelah dipahami konsep model pembelajaran serta pentingnya pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Centered Learning), pertanyaan yang perlu segera diajukan adalah metode pembelajaran apa sajakah yang sesuai dan mendukung SCL tersebut? Terdapat beragam metode pembelajaran untuk SCL, yang antara lain adalah (1) Small Group Discussion, (2) Role-Play & Simulation, (3) Discovery Learning (DL), (4) Self-Directed Learning (SDL), (5) Cooperative Learning (CL), (6) Collaborative Learning (CbL), (7) Contextual Instruction (CI), (8) Project Based Learning (PjBL), dan (9) Problem Based Learning and Inquiry (PBL) (Depdiknas, 2005). Uraian berikut akan menjelaskan scara singkat metode-metode tersebut.



1. Small Group Discussion
Apakah yang dimaksud dengan Small Group Discussion? Diskusi adalah salah satu elemen belajar secara aktif dan merupakan bagian dari banyak model pembelajaran SCL yang lain, seperti CL, CbL, PBL, dan lain-lain. Siswa diminta membuat kelompok kecil (5 sampai 10 orang) untuk mendiskusikan bahan yang diberikan oleh guru atau bahan yang diperoleh sendiri oleh anggota kelompok tersebut.
Dengan aktivitas kelompok kecil, siswa akan belajar:
a. Menjadi pendengar yang baik
b. Bekerjasama untuk tugas bersama
c. Memberikan dan menerima umpan balik yang konstruktif
d. Menghormati perbedaan pendapat
e. Mendukung pendapat dengan bukti
f. Menghargai sudut pandang yang bervariasi (gender, budaya, dan lain-lain)
Aktivitas diskusi kelompok kecil dapat berupa
a. Membangkitkan ide
b. Menyimpulkan butir penting
c. Mengakses tingkat skill dan pengetahuan
d. Mengkaji kembali topik si kelas sebelumnya
e. Menelaah latihan, quiz, tugas menulis
f. Memproses outcome pembelajaran pada akhir kelas
g. Memberi komentar tentang jelasnya kelas
h. Membandingkan teori, isu, dan interpretasi
i. Menyelesaikan masalah
j. Brainstroming

2. Role-Play & Simulation
Simulasi adalah model yang membawa situasi yang mirip dengan sesungguhnya ke dalam kelas. Misalnya untuk pembelajaran berbiacara dan apresiasi drama. Simulasi dapat berbentuk:
a. Permainan peran (role playing). Dalam contoh di atas, setiap siswa dapat diberi peran masing-masing, misalnya sebagai direktur, pencari kerja, orang tua siswa, teman sepermainan, dan lain-lain
b. Simulantion exercices and simulation games
c. Model komputer
Simulasi dapat mengubah cara pandang (mindset) siswa, dengan jalan:
a. mempraktikan kemampuan umum (misal komunikasi verbal & nonverbal)
b. mempraktikan kemampuan khusus
c. mempraktikan kemampuan tim
d. mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving)
e. meggunakan kemampuan sintesis
f. mengembangkan kemampuan empati


3. Discovery Learning (DL)
Discovery Learning (DL) adalah metode belajar yang difokuskan pada pemanfaatan informasi yang tersedia, baik yang diberikan guru maupun yang dicari sendiri oleh siswa, untuk membangun pengetahuan dengan cara belajar mandiri.

4. Self-Directed Learning (SDL)
Self-Directed Learning (SDL) adalah proses belajar yang dilakukan atas inisiatif individu siswa sendiri. Dalam hal ini, perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap pengalaman belajar yang telah dijalani, dilakukan semuanya oleh individu yng bersangkutan. Sementara guru hanya bertindak sebagai fasilitator, yang memberikan arahan, bimbingan, dan konfirmasi terhadap kemajuan belajar yang telah dilakukan individu siswa tersebut.
Metode belajar ini bermanfaat untuk menyadarkan dan memberdayakan siswa, bahwa belajar adalah tanggung jawab mereka sendiri. Dengan kata lain, individu siswa didorong untuk bertanggungjawab terhadap semua pikiran dan tindakan yang dilakukannya.
Metode pembelajaran SDL dapat diterapkan apabila asumsi berikut sudah terpenuhi. Sebagai orang dewasa, kemampuan siswa semestinya bergeser dari orang yang bergantung pada orang lain menjadi individu yang mampu belajar mandiri.
a. Pengalaman merupakan sumber belajar yang sangat bermanfaat.
b. Kesiapan belajar merupakan tahap awal menjadi pembelajar mandiri.
c. Orang dewasa lebih tertarik belajar dari permasalahan daripada dari isi mata kuliah.
d. Pengakuan, penghargaan, dan dukungan terhadap proses belajar orang dewasa perlu diciptakan dalam lingkungan belajar. Dalam hal ini, guru dan siswa harus memiliki semangat yang saling melengkapi dalam melakukan pencarian pengetahuan.

5. Cooperative Learning
Cooperative Learning (CL) adalah metode belajar berkelompok yang dirancang oleh guru untuk memecahkan suatu masalah/kasus atau mengerjakan suatu tugas. Kelompok ini terdiri atas beberapa orang siswa, yang memiliki kemampuan akademik yang beragam.
Metode ini sangat berstruktur karena pembentukan kelompok, materi yang dibahas, langkah-langkah diskusi, serta produk akhir yang harus dihasilkan, semuanya ditentukan dan dikontrol oleh guru. Siswa alam hal ini hanya mengikuti prosedur yang dirancang oleh guru. Pada dasarnya CL seperti ini merupakan perpaduan antara teacher-centered dan student-centered learning.
Menurut Roger dan David Jhonson (dalam Anita Lie, 2005: semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong harus diterapkan yaitu: (a) saling ketergantungan positif, (b) tanggung jawab positif, (c) tatap muka, (d) komunikasi antaranggota, dan (e) evaluasi proses kelompuk.
CL bermanfaat untuk membantu menumbuhkan dan mengasah:
a. Kebiasaan belajar aktif pada diri siswa.
b. Rasa tanggung jawab individu dan kelompok siswa.
c. Kemampuan dan keterampilan kerjasama antarsiswa
d. Keterampilan sosial siswa.


6. Collaborative Learning (CBL)
Collaborative Learning (CBL) adalah metode belajar yang menitik beratkan pada kerjasama antarsiswa yang didasarkan pada konsensus yang dibangun sendiri oleh anggota kelompok. Masalah/tugas/kasus mamang berasal dari guru dan bersifat open ended, tetapi pembentukan kelompok yang didasrkan pada minat, prosedur kerja kelompok, penentuan waktu dan tempat diskusi/ kerja kelompok, sampai dengan bagaimana hasil diskusi/ kerja kelompok yang ingin dinilai oleh dosen, semuanya ditentukan melalui konsensus bersama antaranggota kelompok.


7. Contextual Teaching and Learning (CTL)
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan isi mata pelajaran dengan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari dan memotivasi siswa untuk membuat keterhubungan antara hubungan dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota masyarakat, pelaku kerja profesional atau manajerial, entepreneur, maupun investor.
Pada intinya ada 7 komponen CTL, yaitu (1) konstruktivisme, (2) menemukan, (3) betanya, (4) masyarakat belajar, (5) pemodelan, (6) refleksi, dan (7) penilaian yang sebenarnya.

8. Project-Based Learning (PjBL)
Project-Based Learning (PjBL) adalah metode belajar yang sistematis, yang melibatkan siswa dalam belajar pengetahuan dan keterampilan melalui proses pencarian dan penggalian (inquiry) yang panjang dan berstruktur terhadap pertanyaan yang otentik dan kompleks serta tugas dan produk yang dirancang dengan sangat hati-hati.


9. Problem-Based Learning/Inquiry (PBL/I)
Problem-Based Learning/Inquiry (PBL/I) adalah belajar dengan memanfaatkan masalah dan siswa harus melakukan pencarian dan penggalian informasi (inquiry) untuk dapat memecahkan masalah tersebut. Pada umumnya, terdapat empat langkah yang perlu dilakukan mahasiswa dalam PBL/I, yaitu:
a. Kebiasaan belajar aktif pada diri siswa. Menerima masalah yang relevan dengan salah satu/ beberapa kompetensi yang dituntut dari gurunya.
b. Melakukan pencarian data dan informasi yang relevan untuk memecahkan masalah.
c. Menata data dan mengaitkan data dengan masalah.
d. Menganalisis strategi pemecahan masalah.

F. Penutup
Beragam model pembelajaran telah diuraikan di atas. Terhadap berbagai macam model serta metode pembelajaran terebut wajar jika terdapat respon yang berbeda-beda dari para guru. Barangkali ada yang merasa betapa berat menjadi guru jika harus menerapkan berbagai model tersebut. Namun demikian, barangkali ada pula yang merespon sebaliknya., yakni betapa dunia pembelajaran menawarkan serangkaian pengalaman serta tantangan yang mengasyikkan; makin masuk ke dalam dunia tersebut serta menghayatinya, mereka terasa menemukan suatu pengalaman yang luar biasa bermakna. Pengalaman bermakna itu bukan saja dirasakan oleh anak didik, tetapi juga bagi dirinya. Pemaknaan terhadap dunia dan profesi yang digelutinya tersebut bukan saja berkutat pada tataran penerapan model dalam pelaksanaan pembelajaran, tetapi bahkan mampu memotivasi dan menstimulasi diri untuk secara kreatif mengembangkan dan menemukan berbagai metode pembelajaran yang baru. Sungguh luar biasa! Sudahkah kita memulainya? Semoga.





DAFTAR PUSTAKA


Anita Lie. 2005. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Gramedia Widiasarana.

Dahlan, M.D. (Ed.) 1990. Model-Model Mengajar. Bandung: CV Diponegoro.

Depdiknas. 2002. Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

______. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta: Direktorat SLTP Ditjen Dikdasmen Depdiknas.

Udin S. Winataputra. 2001. Model-Model Pembelejaran Inovatif. Jakarta: Pusat Antar Universitas Ditjen Dikti Depdiknas.

Sarwiji Suwandi. 1999. “Reformasi Pendidikan Mewujudkan Manusia Kreatif, Produktif, dan Demokratis” dalam Majalah Motivasi Edisi XXIII. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

_________. 2001. “Peningkatan Profesionalisme Guru Bahasa Indonesia” Makalah disajikan dalam Seminar Nasional XI Bahasa dan Sastra Indonesia yang diselengarakan Himpunan Pembina Bahasa Indonesia , Denpasar Bali10—12 Juli 2001.

_________. 2002. “Upaya Meningkatkan Kemampuan Profesional Guru Bahasa Indonesia dengan Pendekatan Supervisi Klinis” dalam Varidika Vol 14 No. 24. Surakarta: Universitas Muhammadiyah.

_________. 2003. “Peranan Guru dalam Meningkatkan Kemahiran Berbahasa Indonesia Siswa Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi” Makalah disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Hotel Indonesia Jakarta, 14—17 Oktober 2003.

































Oleh:

Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.






LEMBAGA PENJAMIN MUTU PENDIDIKAN JATENG
DITJEN PENINGKATAN MUTU AKADEMIK
DEPDIKAS
2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar